Kasus buta huruf di Indonesia bukanlah kasus biasa, melainkan sebuah kasus yang mengancam kemajuan dan perkembangan peradaban di Indonesia. Terlebih persentase buta huruf di Indonesia tidak bisa dibilang sedikit.
Dimana akibatnya semakin tinggi persentase masyarakat buta huruf maka semakin tinggi pula potensi kemiskinan pada negara tersebut.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang berjudul Pengaruh Angka Melek Huruf dan Angka Harapan Hidup terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Sumatera Barat, sebuah penelitian milik Edi Dores dan Jolianis yang menyatakan terdapat pengaruh yang signifikan antara angka melek huruf terdapat jumlah penduduk miskin di Sumatera Barat.
Selain dalam persoalan kemiskinan atau ekonomi, kasus buta huruf juga berpengaruh pada kesehatan manusia. Bagi mereka yang tidak pernah belajar membaca dan menulis, akan 3 kali lebih rentan mengalami demensia dibandingkan orang yang pernah belajar membaca dan menulis.
Dengan pengertian demensia adalah sebuah serangkaian gejala kehilangan memori, kesulitan berpikir dan pemecahan masalah. Adanya demensia menunjukkan ada kerusakan pada otak seperti penyakit Alzheimer atau struk.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa kasus buta huruf memang bukan kasus biasa melainkan penuh ancaman dan pengaruh buruk bagi negara maupun individu.
Lalu bagaimana dengan nasib buta huruf di Indonesia? Apakah negara Kita ini memiliki persentase yang tinggi? Apa saja penyebab yang mempengaruhi dan apa saja yang bisa dilakukan untuk memberantas persentase buta huruf tersebut?
Persentase Buta Huruf di Indonesia
Jika dibandingkan dengan tahun 1994, persentase buta huruf di Indonesia memang menunjukkan sebuah penurunan. Namun hal ini tetap tidak menunjukkan bahwa Indonesia terbebas dari buta huruf.
Tetap menunjukkan ada sebagian penduduk Indonesia yang tidak dapat membaca dan menulis kalimat sederhana dalam huruf latin ataupun huruf lainnya.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik terdapat data yang menunjukkan bahwa masih ada 9.24% penduduk Indonesia berusia 45 tahun ke atas yang buta huruf pada tahun 2021.
Dimana angka tersebut memang turun 25.82% poin dibandingkan dengan buta huruf pada tahun 1994 yang sebesar 36.06%.
Tetapi angka ini jika dilihat per daerahnya tetap tidak bisa dikatakan kabar gembira bagi Indonesia. Karena nyatanya masih banyak daerah yang memiliki persentase buta huruf yang tinggi pada rentang usia tersebut, contohnya Papua yang mencapai angka 26.28%, Jawa timur mencapai 15.62%, D.I Yogyakarta yang mencapai 10.94% dan Nusa Tenggara Barat yang mencapai angka 30.38%.
Mungkin jika Anda melihat bahwa usia 45 tahun keatas tidak terlalu berpengaruh pada kemajuan Indonesia, mari kita lihat data buta huruf di Indonesia pada rentang usia 15-45 tahun atau bisa kita katakan sebagai pemudanya Indonesia.
Dimana pemuda adalah kunci kemajuan Indonesia. Namun tetap terdata pada BPS bahwa pada rentang usia 15-45 tahun memiliki 0.75% penduduk buta huruf di Indonesia pada tahun 2021.
Sama halnya dengan rentang usia 45 tahun, angka ini juga menunjukkan penurunan 6.17% poin dari angka 6.9% pada tahun 1994. Dengan rincian terdapat 19.03% buta huruf pada daerah Papua, 0.94% di daerah Jawa Timur, 0.07% di daerah D.I Yogyakarta dan 2.7% di daerah Nusa Tenggara Barat.
Pada rentang usia emas Indonesia ini tentunya angka-angka tersebut tidak bisa dibilang sedikit. Karena rentang usia inilah yang akan menentukan nasib Indonesia pada masa yang akan datang.
Penyebab Buta Huruf
Dari persentase-persentase buta huruf di Indonesia yang sudah disebutkan sebelumnya, tentu Kita mulai menyadari bahwa tingkat buta huruf relatif tinggi. Terutama di daerah Indonesia bagian timur seperti Papua dan Nusa Tenggara Barat.
Pada daerah-daerah tersebut, terdapat faktor yang terlihat jelas menjadi penyebab dari tingginya buta huruf yang terjadi. Faktor tersebut adalah minimnya sarana infrastruktur dan lemahnya sumber daya manusianya.
Namun jika Kita melihat dari faktor tersebut tentunya akan sangat tidak relatif dengan daerah dengan akses, sarana infrastruktur tetapi memiliki tingkat buta huruf yang termasuk tinggi.
Salah satunya adalah Daerah Jawa Timur. Dari persentase diatas dapat kita ketahui bahwa tingkat buta huruf di sana termasuk tinggi, namun Jawa Timur bukanlah daerah yang tertinggal ataupun terpelosok.
Tentu ada faktor lain dibalik penyebab buta huruf ini. Faktor lainnya adalah faktor ekonomi. Pemikiran masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi rendah merasa bahwa dirinya tidak mungkin untuk bisa memasuki dunia pendidikan.
Mereka menganggap bahwa diri mereka tidak cukup mampu untuk bisa masuk dunia pendidikan. Atau bahkan mereka menganggap bahwa pendidikan hanya akan membuang biaya dan waktu yang seharusnya mereka bisa gunakan untuk bekerja.
Tentunya fakta ini sangat miris untuk dikatakan sebuah fakta. Karena hal ini menunjukkan bagaimana kesejahteraan masyarakat dalam menempuh pendidikan belum bisa merata akibat ketidaksetaraan ekonomi.
Tidak sedikit pula Kita jumpai banyak anak-anak yang terpaksa tidak bisa melanjutkan jenjang pendidikan karena keadaan ekonomi yang rendah.
Atau didapati ternyata secara ekonomi mereka mampu untuk sekolah, tidak pula sedikit ditemukan ketidakmerataan persebaran pendidikan dan fasilitas pendidikan di Indonesia.
Maka dapat disimpulkan pula, tingginya persentase buta huruf ini sejalan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi di daerah tersebut.
Pemberantasan Buta Huruf di Indonesia
Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 sudah disebutkan salah satu cita-cita Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka sudah seharusnya terdapat tindakan untuk mengatasi kasus buta huruf di Indonesia.
Senada dengan pernyataan dari Samto, direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbud yang mengingatkan bahwa penuntasan buta huruf adalah amanah pendidikan yang harus diperjuangkan.
Dilansir dalam kemendikbud.go.id menyatakan bahwa strategi penuntasan buta huruf yang sudah dilakukan beberapa tahun terakhir adalah memfokuskan pada daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T).
Contohnya di daerah Jember, penduduk yang buta huruf diberi fasilitas khusus berupa pelatihan dan kela yang memiliki tutor dan pelayanan yang khusus pula. Namun sayangnya, didapati sebuah korupsi dana yang seharusnya digunakan untuk memenuhi pembayaran tutor dan pemenuhan perlengkapan pelatihan tersebut.
Berdasarkan investigasi dari Gerakan Peduli Perempuan (GPP), korupsi yang dilakukan oleh dinas pendidikan dan kebudayaan melakukan korupsi gaji tutor yang seharusnya Rp. 600.000 menjadi sekitar Rp. 300.000.
Hal tersebut tentu kasus yang sangat disayangkan. Dimana pemerintah sudah memberikan upaya pemberantasan buta huruf namun dihambat oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab.
Tentu hal tersebut juga membuka mata Kita, tak cukup dari pemerintah saja yang melakukan upaya pemberantasan tersebut. Kita juga perlu untuk turun tangan dalam mengatasi kasus buta huruf ini.
Setidaknya sebagai bentuk kemanusiaan Kita terhadap orang lain. Dan terlebih bagi umat muslim sudah sebaiknya Kita menolong sesama saudara. Seperti yang tertera pada hadits Muslim, bahwa Rasulullah bersabda
اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ
Artinya adalah: Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya.
Kontribusi yang bisa Kita lakukan adalah bersedekah. Terlebih kini pada zaman serba internet, banyak donasi program pendidikan, sedekah sesama, dan bayar zakat online yang bisa Anda temukan.