images272x0.jpg

The Power Of Kepepet

Jika engkau telah selesai sesuatu urusan, tetaplah bekerja keras untuk urusan lain

By: Khairul Hibri

Ayam hutan jantan itu baru beberapa saat ditangkap, hasil dari jeratan yang dipasang seorang kawan. Ayam itu diletakkan di kandang yang terbuat dari (bilah) bambu agar tidak lari.

Namun alangkah kagetnya sang pemilik, tidak lama ditinggal, nampak kandang sudah kosong.  Ayam hutan itu diduga kabur.

Sejatinya, bukan hanya ayam hutan yang mampu memiliki kekuatan ekstra, manakala dalam kondisi kepepet. Ketika hewan lapar, ia juga akan melakukan apapun dengan segala cara demi memenuhi kebutuhan hajatnya.

Singa bisa menyerang singa. Buaya bisa ‘menghajar’ buaya dan seterusnya. Poinnya,  keterdesakan (kepepet) akhirnya membuat hewan bertindak.

Sebaliknya, bila hajat itu telah terpenuhi. Apalagi sampai berlebih. Maka, ketertarikan untuk melakukan ‘lompatan-lompatan’ itu tidak ditemui.

Lihatlah, bagaimana kondisi ular piton yang habis memangsa sapi? Ia tak gesit lagi dalam berjalan. Hanya berbaring begitu saja, karena ‘bekal’nya sudah begitu banyak.

Diksi Menawan

Meski tidak secara spesifik menuntun kaum muslimin untuk mengendalikan keadaan pada posisi kepepet guna memacu semangat hidup/berkreativitas, Islam telah meletakkan prinsip ini menjadi hal yang sangat mendasar.

Tuntunan untuk segera berpaling dari satu pekerjaan yang telah selesai dilakukan, ke aktivitas yang lain nan juga mengandung unsur positif, bukti akan hal itu. Islam terus ‘membakar’ semangat pemeluknya, dalam segala kondisi. Baik dalam kondisi nyaman, lebih-lebih runyam.

“Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan lain).” (QS: al-Insyirah: 7)

Nampaknya jelas dari ayat di atas, betapa orang beriman dituntut untuk melahirkan ‘keterdesakan’ dalam dirinya. Jangan berleha-leha, apalagi merasa nikmat dalam zona aman.

Ini sama sekali bukan karakter orang beriman.  Munculnya pandangan ini akan melahirkan motivasi untuk terus bergerak.

Tantangan yang dihadapi tidak membuat diri mundur ke belakang. Tapi, malah terpacu, untuk mengeluarkan tenaga di luar kebiasaannya. Persis dengan apa yang dialami oleh ayam hutan di atas.

Potret kehidupan macam inilah yang dipertontonkan oleh orang-orang terdahulu, sehingga mereka survive, baik secara individu maupun ‘komunitas’ (Islam) secara umum.

Maka, mari lihat Abdurrahman bin Auf. Ketika awal hijrah, ia tinggalkan semua harta perniagaannya di Makkah.

Sebab, orang kafir Quraisy mensyaratkan hal itu, bila beliau hendak pergi ke Madinah. Sampai di negeri hijrah, beliau juga sempat mendapat tawaran harta dari seorang sahabat Anshor dan beliau tolak.

Sejarah mencatat, beliau kemudian tampil sebagai salah satu sahabat terkaya saat itu.  Logika sederhananya, bila pilih jalan aman, maka beliau tidak usah meniti jalan sukar itu.

Peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, juga bisa dijadikan pelajaran penting terkait hal ini. Betapa, setelah perjanjian damai itu, Nabi Muhammad ﷺ justru melebarkan sayap dakwahnya ke luar Arab, dengan menyurati para raja, di antaranya Raja Romawi dan Raja Persia.

Jadi, saat itu beliau tidak mengambil jalan aman dan nyaman. Menikmati ‘kedamaian’ yang sebelumnya tidak pernah dirasakan, karena terus dihantui peperangan.

Akhirnya, Islam bisa menyebar ke seluruh dunia ini, termasuk Indonesia.

Jadi, mari jiwa ‘kepepet’ ini kita munculkan dalam diri. Terutama, terkait dengan kehidupan kita di akhirat kelak. Hadirkan, bahwa kondisi amal kita sangat berantakan. Surga yang kita harapkan. Tidakkah kita dalam kondisi kepepet untuk mengejar harapan itu?*

Berita Terkait

Lembaga Amil Zakat Nasional Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Merupakan lembaga amil zakat yang bergerak dalam penghimpunan dana Zakat, infaq, sedekah, Wakaf dan Hibah berikut dana sosial kemanusiaan dan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan, dan melakukan distribusi melalui program pendidikan, dakwah, sosial kemanusiaan dan ekonomi secara nasional.