Des_MULIA_MUSLIMAH_1-1.jpg

Muslimah Pencetak Generasi

Setiap malam wanita ini tidak pernah lepas doa, tanganya selalu menengadah dan menangis menunjukkan betapa dekatnya beliau pada Allah Swt

Oleh: Sarah Zakiyah

 

 عَنْ جَابِرٍ – رضي الله عنه قَالَ, قاَلَ رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم 

“تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ , تَرِبَتْ يَدَاكَ” 

Perempuan dinikahi karena 4 hal: karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, kamu akan selamat.” (HR: Bukhari Muslim)

Pentingnya peran ibu dalam mencetak generasi pelanjut menjadikan Rasulullah ﷺ menyarankan para lelaki untuk memilih calon istri yang baik agamanya, walaupun kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat adalah menikahi perempuan karena sebab lainnya. 

Pada edisi lalu, rubrik ini menceritakan tentang seorang ibu dari seorang faqih terkemuka di zamannya, yaitu Rabi’ah Ar-Ra’yi. Kali ini kita akan membuka lembaran kisah seorang ibu yang juga berjuang sendiri dalam membesarkan putranya hingga karya yang dihasilkannya dikatakan sebagai kitab paling shahih setelah Al-Qur’an.

Ya, kita akan membaca kisah ibu dari Imam Bukhari, Abu Abdillah, Muhammad bin Ismail. Dilahirkan di Bukhara, ayahnya wafat ketika ia masih kecil. 

Dikisahkan, bahwa Bukhari kecil buta matanya, hingga suatu malam ibunya bermimpi bahwa penglihatan Bukhari kecil akan kembali normal berkat doa-doa yang dipanjatkan oleh ibunya. 

Bukhari kecil dan kakaknya yang bernama Ahmad diajak oleh ibu mereka menunaikan haji ke Baitullah, kemudian keduanya menetap di Makkah untuk menitipkan Bukhari kepada para ulama Makkah. 

Bukhari mulai menghapal hadis sejak usia 10 tahun. Ibunya sangat baik dalam mengasuhnya, ia dikenal sangat kuat dalam berdoa, sehingga Bukhari tumbuh menjadi pemuda yang wara’, sangat berhati-hati untuk tidak melakukan keburukan dan segala hal yang syubhat. 

Imam Bukhari juga dikenal sangat zuhud (sederhana, merasa cukup dengan apa yang dimilikinya) dan ‘afif (menjaga diri). Karakter yang melekat pada dirinya merupakan hasil dari do’a ibunya dan kesabarannya dalam mendampinginya menuntut ilmu.

“Aku tidak menuliskan satu hadis pun ke dalam kitab yang kutulis kecuali aku mandi dan shalat dua raka’at. Aku menjadikannya sebagai hujjah antara aku dan Allah,” ungkapnya tentang Kitab Shahih yang disusunnya dari hasil menyaring sekitar 600.000 hadis. 

Jika dikatakan buah tidak jatuh jauh dari pohonnya untuk menggambarkan akhlak dan kecintaan Imam Bukhari terhadap ilmu yang diwariskan dari Ibunya. 

Sungguh ibunya adalah wanita shalihah yang ‘afifah, yang pandai menjaga kehormatan dirinya, ikhlas, dan sepenuh hati mengasuh, merawat, dan mendampingi buah hatinya dalam menuntut ilmu. 

Digambarkan bahwa ibu imam Bukhari orang yang sering menangis dan tidak pernah lepas dari do’a, menunjukkan betapa dekatnya beliau pada Allah Swt. 

Dikisahkah bahwa suaminya mewariskan banyak harta untuknya dan anak-anaknya, namun kekayaan tersebut tidak digunakannya untuk menikmati dunia, tetapi dibelanjakan di jalan ilmu untuk anaknya, Imam Bukhari. 

Sungguh apa yang disabdakan oleh Rasulullah ﷺ agar memilih wanita yang baik agamanya sebagai istri adalah pesan mutiara yang cukup bagi seseorang untuk mendapatkan dunia dan akhirat sekaligus. 

Bukankah anak keturunan yang shalih adalah investasi terbesar seseorang yang hasilnya tidak habis dituai hingga kehidupan akhirat? Semoga kita bisa menjadi wanita mulia, dan ibu bagi generasi Islam ini. Aamin.*   

 

  

Berita Terkait

Lembaga Amil Zakat Nasional Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Merupakan lembaga amil zakat yang bergerak dalam penghimpunan dana Zakat, infaq, sedekah, Wakaf dan Hibah berikut dana sosial kemanusiaan dan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan, dan melakukan distribusi melalui program pendidikan, dakwah, sosial kemanusiaan dan ekonomi secara nasional.