Seorang dai atau murobbi harus lebih banyak menggunakan pendekatan nasihat, lebih mengasihi daripada mengingkari dan mencela
Dr. Nashirul Haq, Lc, MA
Nasihat yang baik merupakan salah satu metode terpenting untuk menyadarkan seseorang. Nasihat yang baik mampu menggugah hati, mengingatkan kelalaian, dan faktor penting untuk merawat kesehatan jiwa dan mengobati penyakitnya.
Dakwah dengan nasihat yang bermanfaat akan melahirkan hati yang lembut. Kita mengenal istilah mau’izhah (nasihat, bimbingan, dan peringatan), sedangkan hasanah artinya kebaikan.
Dari segi terminologi, mau’izhah hasanah bermakna mengajak ke jalan Allah dengan nasihat atau bimbingan yang penuh kelembutan agar peserta didik (mutarabbi) dan objek dakwah (mad’u) dapat menerima kebenaran dan kebaikan kemudian komitmen untuk melaksanakannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl [16]: 125).
Pada ayat di atas, mau’izhah hasanah dimaksudkan sebagai peringatan yang baik dan menyentuh hati agar seseorang tidak resisten dan antipati. Tetapi justru sebaliknya, hati dan akal manusia menjadi simpatik, punya kehendak menerima suatu ajakan kepada kebenaran dan kebaikan
Oleh karena itu, metode (wasilah) ini penting dipahami, dikuasai dan diterapkan oleh para guru, dai dalam setiap proses tarbiyah yang dilakukan.
Nasihat yang baik akan membantu peserta didik (mutarabbi) mampu menyingkap hakikat sesuatu, sehingga lahir pemahaman, kesadaran, dan komitmen membentuk karakter diri dan perilaku dengan akhlak yang baik.
Wasilah ini akan sangat efektif, jika sedari awal mutarabbi sudah siap dengan kondisi pikiran yang jernih, hati yang suci, dan jiwa yang lapang. Nasihat tersebut akan diterima dan direspon secara positif serta memberi sentuhan yang mendalam.
Dengan demikian nasihat yang baik sebagaimana konsep Al-Quran merupakan wasilah penting dalam tarbiyah dan dakwah menuju perbaikan individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan umat.
Sudah seharusnya, seorang da’i atau murobbi lebih banyak menggunakan pendekatan nasihat yang baik daripada metode perdebatan. Lebih banyak menyayangi dan mengasihi daripada mengingkari dan mencela.
Di dalam Al-Quran, Allah Ta’ala pun menerangkan bahwa satu sebab mengapa dakwah Nabi Muhammad ﷺsukses dalam dakwah dan tarbiyah adalah kesungguhan beliau ﷺdi dalam menerapkan wasilah kelembutan berupa mau’izhah hasanah sebagai prioritas.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imran [3]: 159).
Salah satu contoh kelembutan baginda Rasulullah ﷺ dalam memberi bimbingan dan nasehat dapat kita pelajari dari apa yang diceritakan oleh Abu Hurairah r.a.
“Bahwasanya seorang Arab badui kencing di Masjid, maka orang-orang pun segera menuju kepadanya dan menghardiknya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka: “Biarkanlah dia, dan guyurlah air kencingnya dengan setimba air, atau dengan seember air, sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan bukan untuk mempersulit.” (Shahih al Bukhari, no. 6128, 8/30. Shahih Muslim, no. 285. 1/236).
Dari uraian ini jelas bahwa mau’izhah hasanah adalah pilihan yang harus diprioritaskan, dijadikan jati diri di dalam mengemban amanah sebagai guru atau pun dai. Allahu Ta’ala A’lam.*