Lembaga fatwa dunia Islam sepakat perayaan “Hari Kasih Sayang” dalam prakteknya banyak bercampur maksiat yang berpotensi melanggar syariat
Umumnya orang Barat –khususnya dalam tradisi Kristen—tanggal 14 Februari adalah momen paling ditunggu-tunggu. Momen itu sering diperingati sebagai ‘Hari Kasih Sayang’ atau akrab disebut Valentine’s Day, dirayakan bersamaan meninggalnya Santo Valentine (269 M).
Santo Valentine adalah seorang pendeta Kristen yang konon menjadi martir karena membela “cinta” dan “perdamaian”. Umat Kristiani memanfaatkan kesempatan ini untuk mengungkapkan cinta, kasih sayang dan penghargaannya baik kepada pasangan atau sahabatnya dengan memberikan bunga mawar merah, kartu ucapan atau hadiah cokelat.
Tapi Islam tidak mengenal tradisi ini. Selama 14 abad, Islam telah mengajarkan “Cinta” dan “Kasih Sayang” yang sesungguhnya, bahkan dalam arti jauh lebih luas.
Seluruh lembaga keulamaan dunia sepakat merayakan merayakan “Hari Kasih Sayang” atau Valentine’s Day adalah budaya keagamaan lain yang berpotensi bertentangan dengan syariah.
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyah wal Ifta’ (Saudi) mengatakan;
“Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, para pendahulu umat sepakat menyatakan bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha, selain itu, semua hari raya yang berkaitan dengan seseorang, kelompok, peristiwa atau lainnya adalah bid’ah, kaum muslimin tidak boleh melakukannya, mengakuinya, menampakkan kegembiraan karenanya dan membantu terselenggaranya, karena perbuatan ini merupakan perbuatan yang melanggar batas-batas Allah, sehingga dengan begitu pelakunya berarti telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri. Jika hari raya itu merupakan simbol orang-orang kafir, maka ini merupakan dosa lainnya, karena dengan begitu berarti telah bertasyabbuh (menyerupai) mereka di samping merupakan keloyalan terhadap mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang kaum mukminin ber-tasyabbuh dengan mereka dan loyal terhadap mereka di dalam KitabNya yang mulia, dan telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi ﷺ.”
Sementara Darul Ifta’ Al-Mishriyyah (Mesir) dalam fatwanya tanggal 22 Juli 2013 menjelaskan, “Hari Kasih Sayang” menjadi halal jika dilakukan untuk pasangan sendiri (yang sah) dan tidak bertentangan dengan syariat dan akidah Islam.
“Perayaan semacam ini sudah menjadi acara sosial. Oleh karena itu, tidak ada keberatan untuk ikut serta di dalamnya asalkan seorang Muslim tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan akidah Islam,” demikian bunyi fatwanya.
“Halal dalam hukum Islam untuk menentukan hari pembaharuan cinta di antara pasangan (sah) atau di antara teman dan keluarga. Sebab, tidak ada hukum Islam yang melarang hal tersebut. Namun, kesempatan ini tidak boleh disebut “Idul Fitri”, melainkan “Hari Cinta” (Yaum al-Hub).
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 3 Tahun 2017 mengingatkan kaum Muslim bahwa haram hukumnya merayakan Valentine’s Day setiap tanggal 14 Pebruari.
Dijelaskan bahwa umat Islam dilarang merayakannya karena hari Valentine’s Day;
- Bukan termasuk dalam tradisi Islam;
- Dikhawatirkan menjerumuskan muda-mudi muslim kepada pergaulan bebas (seks di luar nikah); dan berpotensi membawa keburukan.
Senada dengan MUI, Komite Fatwa Dewan Nasional Urusan Agama Islam Malaysia ke-71 yang bersidang pada 22-24 November 2005 memutuskan bahwa praktik perayaan Valentine’s Day tidak pernah diselenggarakan oleh Islam.
Hal itu karena ada unsur agama lain. Selain itu, dalam prakteknya banyak bercampur dengan maksiat dan dinilai bertentangan dengan Islam.*