side-view-muslim-hands-sharing-rice-alms-bags-isolated-black-background-2_1700049572

Berbagi Kebahagiaan 

Cukuplah Qorun yang meniti jalan kehinaan. Saatnya cerdas dalam berbagi kebahagiaan  

By: Khairul Hibri 

Ketika kebahagiaan atau kesuksesan tengah diraih, siapakah yang sering diajak untuk ‘merayakan’ kebahagiaan itu? 

Mungkin sebagian orang, sahabat, kolega atau orang terdekat. Salahkah? Tentu saja tidak. 

Tapi, kalau kita klasifikasikan dengan pandangan Islam, maka ada kelompok orang yang seharusnya jadi prioritas.  Siapa Mereka? 

Pertama; Orang tua 

Mereka inilah yang sangat berjasa dalam keberhasilan kita dalam bidang apapun. Sangatlah keliru, manakala menyimpulkan, bahwa keduanya sama sekali tidak berperan atas kesuksesan kita, disebabkan kemiskinan yang melilit mereka. 

“Saya sukses, karena saya berusaha, peras keringat, merantau lalu kerja keras. Makanya, akhirnya, bisa sukses seperti ini.” 

Anggaplah argumen di atas yang dikedepankan untuk menyimpulkan orang tua sama sekali tidak berperan atas karir yang dibangun. 

Sekarang mari kita berefleksi sejenak. Coba kembali ke belakang, semasa kita masih bayi. Siapakah yang merawat kita? 

Lalu, setelah kita dewasa, kuat berjalan, siapa yang mengajari pertama kali? Siapa yang mengajari kita hingga piawai berbicara, siapa yang menuntun bicara mulai dari kata perkata? 

Bukankah semua itu orang tua. Belum soal kebutuhan primer kita, seperti makan, minum, kesehatan, biaya pendidikan, pakaian, dan seterusnya. 

Bukankah itu peran orang tua sangat besar? 

Ibu, sembilan bulan mengandung dengan seabrek dukanya. Belum lagi ketika proses melahirkan, nyawa menjadi taruhan. 

Proses perawatan semasa kecil, yang acap membangunkan beliau di tengah malam. Bukankah itu pengorbanan yang luar biasa. 

Tidakkah keduanya menjadi sosok yang paling layak untuk menerima dan merayakan kesuksesan itu? 

Datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah ﷺ, mengadukan prihal sang ayah yang acap menggunakan harta miliknya, tanpa sepengetahuannya. Tentu harapan laki-laki itu, sudinya Rasulullah ﷺ  mengingatkan sang ayah. 

Tapi, tahukah apa jawaban Rasulullah ﷺ ? 

“Kamu dan harta-hartamu adalah milik ayahmu.” Jadi, yang namanya pemilik punya hak menggunakan ‘sesuka hati.’ 

Adapun untuk ibu, Ibnu Umar pernah ditanya oleh seorang laki-laki asal Yaman, yang menggendong ibunya ketika Thawaf, lantas ia berkata; “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya?” dijawab Ibnu Umar; “Belum, walaupun setarik nafas yang ia keluarkan ketika melahirkan.”  

Yang kedua; adalah orang-orang miskin/anak-anak yatim. Mereka inilah yang memiliki hak atas harta-harta orang kaya/sukses. 

Jangan sampai kelompok ini termarginalkan. Kepada merekalah tersimpan keberkahan harta yang dimiliki. 

Maka, sangat disayangkan, bila kita dapati ada pesta orang-orang kaya, tapi memprioritaskan tamu orang-orang kaya pula. Perut mereka yang sudah penuh dengan makanan. 

Padahal, di luar sana, banyak sekali orang yang kesulitan dalam mencari sesuap nasi. 

Lebih bahaya lagi, kalau sampai kikir, hingga enggan berbagi. Maka, cukuplah Qorun yang meniti jalan kehinaan itu, yang akhir hidupnya ditenggelamkan beserta harta yang ditumpuk-tumpuknya. 

Akhir kata, mari kita cerdas dalam berbagi kebahagiaan. Jangan sampai, kita mengira telah berbagi antar sesama dan mengundang keberkahan, tapi nyatanya justru mengundang murka Allah. Na’udzubillahi min dzalik.* 

Berita Terkait

Lembaga Amil Zakat Nasional Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Merupakan lembaga amil zakat yang bergerak dalam penghimpunan dana Zakat, infaq, sedekah, Wakaf dan Hibah berikut dana sosial kemanusiaan dan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan, dan melakukan distribusi melalui program pendidikan, dakwah, sosial kemanusiaan dan ekonomi secara nasional.