Selama berabad -abad, Ramadhan menyaksikan banyak tradisi, beberapa di antaranya masih hidup dan telah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya
Salah satu tradisi masa lalu yang terkait dengan Ramadhan yang masih hidup di dunia Arab dan negeri Muslim adalah al-Musaharati. Al-Musaharati atau Mesaharaty adalah nama yang diberikan kepada orang yang berjalan di sekitar daerah dengan membawa drum atau rebana, dengan melantunkan ayat -ayat atau lagu-lagu untuk membangunkan orang agar sahur.
Tradisi ini masih dipraktikkan di Mesir, Suriah, Sudan, Oman, Kuwait, Turki, Tripoli, Lebanon, Yordania, Arab Saudi, Palestina, bahkan juga merambah di India, Pakistan, dan Bangladesh.
Tradisi seperti ini masih dapat ditemukan di jalan-jalan tua di Dhaka, Bangladesh. Dalam tradisi ini, seseorang akan berjalan di sekitar pemukiman sambil memukul rebana atau drum sambil melantunkan ayat, syair indah atau lagu-lagu spiritual.
Tradisi ini dikembangkan selama era Abbasiyah pada saat Khalifah Al-Nasser di Mesir. Saat itu, penguasa Mesir Otbah Ibn Ishaq adalah orang pertama yang berkeliling di jalan-jalan Kairo selama bulan Ramadhan.
Menurut sejarah, Ibnu Ishaq telah melantunkan puitis indah yang artinya, “Wahai! Mereka yang tertidur, bangun dan berdoa kepada Allah… “
Tradisi Musaharati ini dibawa oleh Sultan Utsmaniyah (Ottoman) asal Turki yang kala menduduki Tripoli dan Lebanon. Di Yaman, tradisi ini pertama menggunakan tongkat untuk mengetuk pintu rumah orang.
Sementara di Sudan, Musaharati berjalan sambil memanggil nama orang. Di Suriah, Lebanon dan Palestina mereka bersiul, sementara di Arab Saudi mereka membangunkan dengan ayat atau dengan doa.
Para Musaharati hanya bekerja selama bulan Ramadhan saja, namun bagi mereka pekerjaan tersebut bukanlah ‘pekerjaan’ melainkan lebih ke pelestarian sebuah warisan budaya.
“Kami melakukan ini karena ini adalah warisan kami, bukan sebagai sebuah profesi. Ini semacam ibadah, karena kami dibayar untuk melakukan hal yang berhubungan dengan ibadah pada Allah SWT dan Nabi Muhammad ﷺ. Gaji yang kami dapatkan? Kami menganggapnya sebagai bonus untuk Idul Fitri,” ucap Al Zahed, seorang Musaharati di Tripoli, seperti dikutip dari reuters.com.
Mulai Langka
Namun di sebagian tempat tradisi ini sudah menjadi agak langka. “Tradisi berusia berabad-abad ini semakin langka di Jeddah,” kata Ahmed Abdo yang telah tinggal di distrik lama Jeddah selama lebih dari 50 tahun, dikutip Arab News.
“Dulu ada Al-Musaharati di setiap distrik tetapi sekarang banyak dari mereka sudah hilang. Generasi muda mengadopsi profesi lain,” tambah Abdo.
Menurut Abdo Al-Musaharati dulu memainkan peran besar dan indah di kawasan ini. “Orang-orang pada waktu itu biasa langsung tidur setelah shalat tarawih, dan pada waktu fajar, Al-Musaharati akan menabuh genderang kecilnya untuk membangunkan orang-orang sahur,” ujarnya.
Seiring munculnya teknologi modern, menyebabkan hilangnya Musaharati di sebagian negara.
Teman Abdo yang berusia 59 tahun, Abdulrahman Al-Awfi, mengatakan bahwa peran Al-Musaharati adalah salah satu tradisi tertua dan paling mengakar yang ditemukan selama Ramadhan.
“Namun, tradisi tersebut memudar sejak teknologi memasuki rumah masyarakat. Ada televisi, jam alarm, dan ponsel, yang menggantikan Al-Musaharati,” terangnya.
“Seiring waktu berubah, tradisi berkembang secara alami, tetapi penting untuk mewariskan pentingnya hari itu kepada generasi yang lebih muda,” kata penduduk distrik lama Jeddah lainnya.*