menulis

Ikatlah Ilmu dengan Menulis

Pemimpin Mongol Hulagu Khan membakar Perpustakaan Baitul Hikmah yang memuat karya-karya langka dan agung dalam berbagai disiplin ilmu

Peradaban Islam dibangun dengan tradisi ilmu dan literasi. Bangsa Arab di masa jahiliyah, telah mengapresiasi kemampuan menulis sebagai salah satu dari tiga syarat utama seseorang disebut minal kamilin (di antara orang-orang yang sempurna).

Rasulullah ﷺ telah mendidik sahabat tentang pentingnya ilmu, dunia tulis menulis, dokumentasi dan lain-lain. Rasulullah ﷺ bahkan mempunyai 65 sekretaris, yang aktivitasnya adalah tulis-menulis. (Prof. Dr Mustafa Azami, Kuttabun Nabi, diterjemahkan GIP dengan judul “65 Sekretaris Nabi”). 

Di antara sekretaris Rasulullah ﷺ antara lain: Zaid bin Tsabit (bertugas menulis surat kepada raja-raja), Ali bin Abi Thalib  (menulis akad-akad perjanjian), al-Mughirah bin Syu’bah (menulis kebutuhan-kebutuhan Nabi yang bersifat mendadak), Abdullah ibnul Arqam  (mencatat utang-piutang dan akad lainnya di tengah masyarakat).

Peradaban Kertas 

Dalam Sirah Nabi, dapat dibaca bahwa belum genap satu tahun Rasulullah ﷺ tinggal di Madinah, beliau menulis “Piagam Madinah” yang telah diakui para ahli sebagai “Undang-Undang Negara Modern” di dunia yang ada.

Pada masa permulaan Islam, tempat “berkantor” para sekretaris Nabi ﷺ dinamakan Diwan, kumpulan lembaran-lembaran dan daftar tulisan yang berisi nama-nama tentara dan para pemberi sedekah. 

Menurut al-Qalqasyandi, Diwanul Insya` (kantor pembuatan surat-surat kenegaraan), adalah Diwan pertama ada dalam Islam.  

Literasi Zaman Sahabat

Kehebatan dalam dunia tulis menulis terus berkembang, sehingga generasi sahabat, tabiin, tabiiut tabiin. Salah satunya adalah keberhasilan para sahabat  menjaga keotentikan Al-Quran dengan membukukannya, menuliskan Sunnah Rasulullah ﷺ, melahirkan ilmu aj jarh wat ta’dil, ilmu bahasa Arab (sharaf, nahwu dll), ilmu matematika, ilmu fisika, dan lain-lain. 

Dalam sejarah Islam, tradisi ini terus berkembang hingga melahirkan tradisi menulis buku sampai ditemukannya teknologi kertas.

Dr Ahmad Amin dalam bukunya yang terkenal “Dhuha Islam“ menyatakan: “Banyak sekali jenis kertas yang terdapat dalam masa pemerintahan kerajaan Abbasiyah, antaranya ialah kertas firaun (mengambil nama orang-orang Firaun di Mesir), kertas sulaimani (mengambil nama Sulaiman bin Rashid, Gubernur Harun al Rashid di Khurasan), kertas jaafari (mengambil nama Jaafar al Barmaky), kertas al talhi (mengambil nama Thalhah bin Hasan). 

Pada masa tersebut juga terdapat banyak sekali tempat perusahaan kertas muncul. Ada yang di Samarqand, Baghdad, Tihamah, Yaman, Mesir, Damsyik, Tarablus, Humah, Khimath, Mambaj, Maroko, dan juga Andalus. 

Kejayaan Pengetahuan  

Melalui tradisi tulis-menulis, peradaban Islam berada pada puncak kejayaannya di era Dinasti Abbasiyyah (750-1258 M).  

Kemajuan pengetahuan dan literasi Islam kala itu bahkan mempengaruhi dunia Barat dan Eropa. Tak urung, banyak kalangan Barat berusaha mentransferkan ilmu pengetahuan dengan cara mengirim para mahasiswa untuk belajar di dunia Islam.

Ribuan sekolah masjid saat didirikan. Pada abad ke-10, Baghdad memiliki sekitar 300 sekolah. 

Baghdad kala itu muncul sebagai pusat peradaban Islam, baik dalam bidang sains, budaya dan sastra. Kemajuan peradaban ini menghadirkan Baghdad sebagai kota para intelektual, tidak hanya orang Arab yang datang, bangsa Eropa, Persia, China, India serta Afrika turut hadir mengisi atmosfer pengetahuan. 

Di masa Abbasiyah pula banyak sekali bermunculan intelektual-intelektual muslim dan pusat-pusat ilmu. Di institusi paling terkenal kala itu adalah Bait al-Hikmah di Baghdad (820 M).

Kemudian berdiri sebuah universitas pertama di dunia yang bernama Universitas Al-Qarawiyyin,  didirikan Fatimah Al Fihri di Kota Fez, Maroko (859). Menyusul kemudian Universitas Al-Azhar (968 M) yang kini diakui sebagai pusat ilmu pengetahuan dan agama Islam paling tua di dunia. 

Kejayaan Dinasti Abbasiyah ini diikuti oleh kejayaan literasi umat Islam pada masa Bani Umayyah di Andalusia.

Penggerak dari kemajuan literasi di Andalusia sendiri tak lepas dari peran pemimpinnya, yakni Sultan Al Hakam II yang mencintai ilmu pengetahuan. 

Beliau memiliki koleksi buku pribadi sebanyak 600.000 buku. Beliau juga turut andil dalam pendirian Perpustakaan Cordoba yang terinspirasi dari Baitul Hikmah di Baghdad, dimana lahirnya kegiatan penerjemahan buku-buku berbahasa Latin ke dalam Bahasa Arab.

Sebaliknya, Eropa juga melakukan penerjemahan buku karya ulama dan cendekiawan Muslim dari bahasa Arab ke bahasa mereka. Hal ini melahirkan pencerahan ilmu pengetahuan dan melahirkan institusi ilmu pengetahuan baru di wilayah Eropa. 

Di antara kitab yang mempengaruhi Barat adalah terjemahan Yahya bin al-Bitriq (wafat 200 H/ 815 M) seperti Kitab al-Hayawan (buku tentang makhluk hidup).  Buku al-Qanun karya Ibnu Sina (Ibnu Sina atau Avicenna di abad 12) mengenai ilmu kedokteran yang mempengaruhi Eropa dan Barat sampai hari ini. 

Pada akhir abad ke-13 diterjemahkan pula buku al-Hawi karya Razi yang lebih luas dan lebih tebal dari al-Qanun.

Maka, tumbuhlah Islam sebagai pusat peradaban dunia. Bahkan buku pedoman  ilmu medis Islam karya Ibnu Rusyd, Kitab al-Kulliyyat fi al-Tibb (tentang filsafat ilmu kedokteran), menjadi referensi digunakan selama berabad-abad di Eropa.

Boleh jadi karena tradisi inilah yang menyebabkan musuh begitu khawatir dan cemas. Sampai-sampai saat Pemimpin Mongol Hulagu Khan mengalahkan Dinasti Abbasiyah pada 1258 Masehi, ia tidak saja menghabisi 2 juta penduduk Baghdad, tapi membakar Perpustakaan Baitul Hikmah yang memuat karya-karya langka dan agung dalam berbagai disiplin ilmu. 

Menurut Ibn Nadim dalam Fihris, Baitul Hikmah kala itu telah memiliki koleksi 60.000 buku,  dan yang tersisa hanyalah lautan asap hitam mengepul dari puing-puing kertas dan reruntuhan bangunan. []

Islam Dibangun dengan Tradisi Literasi

Islam merupakan agama yang mendorong untuk membudayakan budaya literasi di kalangan umatnya. Hal ini tak lepas dari sejarah turunnya kitab suci Al-Quran itu sendiri. 

Wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah ayat tentang ilmu pengetahuan, yaitu “Iqra” yang bermakna perintah untuk membaca. Membaca sangat penting dalam kehidupan seorang Muslimin, karena membaca merupakan pintu gerbang bagi masuknya berbagai ilmu pengetahuan. 

Dalam sejarahnya, Islam tidak lepas dari budaya membaca dan menulis. Bahkan kejayaan peradaban dibangun karena tradisi literasi.

Meskipun Bangsa Arab Pra-Islam kurang bersentuhan dengan budaya menulis dan membaca, namun setelah Al-Quran turun kepada mereka, tradisi membaca dan menulis mulai tumbuh di kalangan Bangsa Arab. 

Banyak dari mereka mulai menuliskan ayat – ayat Al-Quran di berbagai media seperti kulit kayu, batu, tulang, pelepah kurma, dan kulit hewan. Beberapa sahabat Rasulullah juga sudah mulai belajar membaca dan menulis. 

Salah satu tokoh yang pandai membaca dan menulis pada masa itu adalah Hafshah binti Umar bin Khattab yang merupakan anak dari Umar bin Khattab sekaligus Istri Rasulullah ﷺ.

Iklim literasi semakin membesar dan melebar di kala Nabi ﷺ telah berhijrah ke Madinah. Suasana intelektual semakin hangat, para sahabat menjadikan Masjid Nabawi sebagai sentral kegiatan keilmuan, belajar al-Quran dan ulumuddin sekaligus belajar membaca dan menulis.

Para sahabat yang memiliki kemampuan literasi yang baik mengajarkan sahabat-sahabat lainnya, serta anak-anak Madina untuk belajar baca-tulis. Sehingga generasi sahabat junior menjadi generasi-generasi yang melek literasi. (Usul al-Hadist: Ulumuhu wa Musthalahuhu, Muhammad ‘Ijaj al-Khatib, 142-143). []

Ulama Salaf Dikenal Penulis Ulung

Menulis adalah bagian dari amal jariyah. Bagaimana jadinya jika Islam tidak mengajarkan tradisi menulis dan literasi?

Bukankah Al-Quran dan hadits itu hadir di tengah-tengah kita justru karena tradisi ilmiah ini?

Sesungguhnya kemajuan dan kejayaan Islam dibangun dari tradisi membaca, menulis atau literasi.  Ulama generasi salaf kita dikenal sangat produktif menulis kitab. 

Imam Suyuthi misalnya, menulis tak kurang 600 kitab. Demikian juga Imam Nawawi, ada ratusan kitab yang lahir dari penanya.

Jangan dibayangkan kitab-kitab yang mereka tulis itu seperti buku sekarang yang menggunakan teknologi modern. Mereka menulis ratusan kitab bermutu dengan tulisan tangan atau yang dikenal manuskrip (naskah kuno) atau mahthuthat. 

Di antaranya adalah kitab Al Majmu’ah Al Fatawa, ditulis oleh Ibnu Taimiyah. Mahthuthat adalah bukti atas eksistensi pengetahuan sebuah umat dan dalil atas sebuah peradaban. 

Imam asy-Syafii rahimahullah, yang dikenal sebagai pendiri Madzhab Syafii, banyak menghasilkan karya tulis berupa kitab-kitab. Sebahagian beliau tulis sendiri lalu dibacakan dan dibahaskan para penuntut ilmu. 

Sebagian lagi dikumpulkan dan dibukukan oleh murid-murid beliau. Menurut Syeikh Ali Jum’ah, Imam al-Syafii menulis lebih dari 30 karya monumental. 

Sayangnya, tidak semuanya sampai di tangan kita. Beberapa kitab hilang dan beberapa kitab masih dalam proses pengetikan dan pentahqiqan (koreksi).

Salah satu karya hebatnya adalah kitab al-Risalah, yang disebut-sebut sebagai kitab ushul fikih pertama yang ditulis secara sistematis. Berkat al-Risalah juga, Imam al-Syafi’i dijuluki sebagai Nasir al-Sunnah (pembela sunnah).

Di antara yang masyhur lagi terkenal adalah kitab al-Umm yang jumlahnya mencapai 20 jilid, kemudian al-Jami’ al-Muzanni al-Kabiir dan ash-Shaghiir, Mukhtashar al-Kabir dan ash-Shaghiir, Mukhtashar al-Buwaithi dan ar-Rabi’, al-Harmalah, kemudian kitab al-Hujjah yang merupakan sebahagian dari qaul qadim (karya yang menjelaskan pegangan awal asy-Syafi’i), ar-Risalah al-Qadiimah, ar-Risalah al-Jadiidah, al-Amali, al-Imla’, dan selainnya.  

Bahkan ada ulama yang menyebutkan jumlah kitab-kitab karya Imam asy-Syafii mencapai 113 buah. 

Menurut Imam al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala’,  mengutip kaul al-Rabi’ bin Sulaiman, Imam al-Syafii, pendiri Mazhab SyafiiI membagi malamnya menjadi tiga: sepertiga pertama digunakan untuk menulis, sepertiga kedua digunakan untuk shalat malam, dan sepertiga terakhir digunakan untuk tidur. []

Berita Terkait

Lembaga Amil Zakat Nasional Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Merupakan lembaga amil zakat yang bergerak dalam penghimpunan dana Zakat, infaq, sedekah, Wakaf dan Hibah berikut dana sosial kemanusiaan dan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan, dan melakukan distribusi melalui program pendidikan, dakwah, sosial kemanusiaan dan ekonomi secara nasional.