images

Rugi Diri Menjadi ‘Katak dalam Tempurung’

Siapa yang tidak kenal katak? Binatang yang bisa hidup di dua alam ini bahkan sangat akrab di telinga anak-anak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). 

Katak adalah hewan iconic di musim hujan, yang biasanya ‘bersenandung’ riang, menambah keindahan alam. 

Meski kehadirannya melengkapi keindahan alam, tapi Selain beberapa hal tersebut di atas terkait dengan ciri khas katak, ada satu ungkapan yang sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia dengan binatang ini. Yaitu; ‘Bagai katak dalam tempurung.’ 

Katak yang berada di tempurung, memiliki ruang sempit. Terisolasi dari dunia luar. Ia mendominasi ‘suara.’ Nyaring. Karena tidak ada pihak lain yang menyaingi. Ia berkuasa dengan area kekuasaannya. Namun, ketika ia mengintip keluar (apalagi sampai keluar tempurung). Baru terbelalak, bahwa dunia itu sangatlah luas. 

Membahayakan Diri 

Bersikap ala ‘katak dalam tempurung,’ sangatlah membahayakan seseorang. Hal itu disebabkan efek samping dari perilaku tersebut yang banyak mencederai prinsip-prinsip hubungan sosial antar manusia. Apalagi dengan seseorang yang ingin diajak kerja sama dalam satu proyek. Sudah pasti akan menghasilkan keretakan. 

Hal yang dituntut dalam membangun kerja sama itu, keluwesan dalam bergaul. Mampu menyesuaikan diri. Faham cara bersikap yang tepat dan benar. Hal ini sangat bertentangan dengan orang yang berkepribadian ‘katak dalam tempurung.’ 

Pribadi ini sangat tertutup. Serapat tempurung. Sukar untuk diajak keluar, karena ia mengunci diri. Alih-alih akan sukses membangun hubungan yang baik, bahkan sekedar mencari sahabat pun sukar untuk dilakukan. Padahal, sebagai makhluk sosial, jangankan dalam rangka membangun karir, untuk ‘sekedar’ bertahan hidupun, butuh pihak lain untuk menopang. 

‘Memiliki seribu sahabat masihlah sangat sedikit. Mempunyai seorang musuh, sudahlah terlalu banyak.’ Kata pepatah mencerminkan betapa berharganya pergaulan. 

Kurang gaul ini juga akan melahirkan ‘bencana’ selanjutnya prihal membangun keharmonisan. Yaitu, kurangnya pengetahuan dan pengalaman. Terjadi stagnasi kecerdasan. Hasilnya, kurang lapang dada dalam menyikapi perbedaan. Bahkan, seringnya mendominasi pembicaraan, dengan ketidaktahuannya. 

Istilah ulama, ia terjerat dalam kubangan jahil murokkab. Tidak tahu kalau dirinya tidak tahu, tapi tampil sebagai orang yang sok tahu semua hal. Orang berperilaku demikian akan dijauhi bahkan menjadi objek olokan. 

Bagaimana hendak meraih kesuksesan, kalau orang lain sudah menjauh. Seorang raja pun akan kehilangan kekuasaan, manakala loyalitas bawahan turun akibat perilaku buruknya. Maka apalagi masyarakat biasa yang tengah berjuang meniti karirinya. Tentu akan jauh lebih mudah nyungsep

Buka Diri

Tidak ada pilihan untuk mereka yang ingin menggapai kesuksesan, kecuali melepaskan kepribadian ‘katak dalam tempurung’ ini. Kemudian, mencoba untuk membuka sedikit demi sedikit tempurung itu, lalu keluar dari dalamnya. 

Mulailah membuka mata. Baca fenomena yang ada; bahwa dunia ini luas dan penuh dengan pernak-perniknya. Pelajari, dan berusahalah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Jangan paksa pihak lain untuk memahami kita. Tapi, merusahalah menyeburkan diri, baik secara hukum sosial, alam, dan tentu saja syariah. 

Ada sebuah ungkapan menarik dari seorang jurnalis muslim senior, terkait dengan kesuksesan dakwah para wali Songo di Indonesia. 

“Saya yakin, mereka tidak perlu kursus bahasa Indonesia dulu untuk menaklukkan Nusantara (Indonesia). Padahal mereka berasal dari Timur Tengah sana. Tapi mereka berhasil.” 

Salah satu kuncinya, ujar beliau, karena keluwesan para waliyullah itu dalam berbaur dengan masyarakat. Mereka berusaha melakukan pendekatan dengan kultur yang telah berkembang. Akhirnya diterima, dan misi dakwahpun jalan sukses, tanpa adanya gesekan berarti antar mereka dan masyarakat.  Kiranya jejak sejarah ini bisa ditiru. Wallahu ‘alam bish-shawab.

Berita Terkait

Lembaga Amil Zakat Nasional Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Merupakan lembaga amil zakat yang bergerak dalam penghimpunan dana Zakat, infaq, sedekah, Wakaf dan Hibah berikut dana sosial kemanusiaan dan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan, dan melakukan distribusi melalui program pendidikan, dakwah, sosial kemanusiaan dan ekonomi secara nasional.