Berkat bantuan ‘motor dakwah’ ia bisa mendatangi tempat-tempat terpencil yang membutuhkan cahaya kebenaran
Jika bertandang ke daerah Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), lazimnya para pelancong akan berkunjung ke Labuan Bajo atau Taman Nasional Komodo. Destinasi wisata eksotis ini memang menyimpan keindahan alam yang menakjubkan dan hewan purba yang mendunia.
Namun kedatangan Ustadz Ahmad Uju ke tempat ini memiliki tujuan berbeda. Ia datang dengan mengemban amanah dakwah yang berlokasi tak jauh dari Labuan Bajo, tepatnya di Dusun Mburak, Desa Macang Tanggar, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Sama dengan para pelancong pada umumnya, awal mula tiba Ahmad dibuat takjub dengan pesona alam yang memukau. Begitu pula ketika tiba di lokasi dakwah, ia terkejut.
Bukan sebab keindahannya, tetapi ternyata lokasi itu masih berupa hutan dan jauh dari keramaian. Lokasi itu sebenarnya tidak terlalu jauh dari Bandara Komodo, hanya berjarak sekitar 13 kilometer saja.
Namun perjalanan ke sana bisa menghabiskan waktu hingga satu jam, karena akses masuk dusun itu harus melewati jalan berlumpur. Di dusun inilah dirintis Pondok Pesantren Hidayatullah.
Ketika Ahmad, demikian ia akrab disapa, tiba saat itu, belum ada bangunan yang memadai. Hanya ada bilik-bilik kecil yang terbuat dari kayu bekas dan beratapkan terpal yang dimanfaatkan sebagai mushola dan tempat tinggal.
“Tempat ini digunakan untuk mengajar anak-anak mengaji,” ujarnya.
Namun Ahmad amat bersyukur karena bisa berteduh di saat hujan dan berlindung di saat terik. Apalagi warga sekitar menyambut kedatangannya dengan baik.
“Untuk makan dan minum, ada hamba Allah yang setiap pekan antar bahan makanan ke sini. Terus sayur, semua sudah dipersiapkan,” katanya terharu.
Satu hal yang kerap membuatnya was-was adalah kawasan ini rawan banjir. Kalau hujan, meski hanya sebentar, biasanya langsung digenangi air.
Bagi Ahmad yang hanya tinggal di rumah bilik dari bahan kayu bekas, tentu kondisi ini terus membuatnya khawatir. “Tapi alhamdulillah sejauh ini aman saja karena kami serahkan semua hanya kepada Allah Ta’ala,” tegas pria kelahiran 17 Desember 1990 tersebut.
Sambutan Hangat
Ketika mengawali langkah dakwah di Manggarai Barat, Ustadz Ahmad merasa prihatin. Pasalnya, pemahaman keagamaan masyarakat setempat masih tergolong minim.
Lembaga pendidikan agama juga belum ada. Anak-anak belum berkesempatan belajar agama semisal di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) seperti di daerah lainnya.
Ahmad dan kawan-kawan kemudian melakukan silaturahmi ke tokoh-tokoh masyarakat dan menyampaikan rencana pendirian TPQ. Ia menawarkan diri menjadi khatib Jumat di masjid kampung.
“Kami sangat terkesan akan sambutan hangat dari tokoh dan masyarakat. Mereka menyambut baik, bahkan ada yang mau membantu memberi makanan,” ungkap suami dari Marna tersebut.
Jalinan silaturahmi tersebut menghadirkan ikatan persaudaraan yang kuat, sehingga pelaksanaan dakwah Ahmad relatif berjalan dengan baik.
“Dengan berdirinya pesantren, memberikan alternatif pendidikan Islam formal maupun diniyah,” terangnya.
Beberapa anak mulai belajar mengaji di pondok, meskipun dengan fasilitas seadanya. “Saat ini kami sedang membangun sebuah masjid untuk aktivitas ibadah dan dakwah,” lanjutnya.
Operasional Dakwah
Hingga saat ini, proses pembangunan masjid masih berlangsung. Karena di dusun tersebut belum ada masjid, maka warga harus menunaikan shalat Jumat di kampung sebelah.
Karena belum memiliki kendaraan, Ahmad dan pengurus pondok biasanya menumpang sepeda motor warga untuk shalat Jumat.
Alhamdulillah, belum lama ini ia mendapatkan bantuan armada dakwah berupa sepeda motor dari BMH dan YBM BRILiaN.
Lebih dari itu, kini Ahmad dapat lebih leluasa dalam menjelajah area dakwah, hingga desa-desa lain dan berbagai kecamatan yang ada di wilayah Manggarai Barat.
“Alhamdulillah, jazakallahu khairan, motor ini juga sangat membantu operasional pesantren, seperti membeli bahan bangunan untuk pendirian masjid,” ungkapnya.
Ahmad juga mendapatkan dukungan kafalah beserta operasional dakwah. Hal ini dirasakannya amat bermanfaat bagi dirinya selaku da’i yang harus rutin mendatangi tempat-tempat terpencil yang membutuhkan cahaya kebenaran.
“(Dengan kafalah dan bantuan operasional dakwah) kami bisa lebih fokus berdakwah dan tidak terbebani dengan urusan dapur,” tutupnya.*/Siraj el-Manadhy