Perceraian di wilayah Sahara Afrika ini tidak untuk ditangisi, sebaliknya ditandai pesta, makan malam dan tabuhan rebana
Namanya aneh, seolah tempat perempuan yang bercerai sedang menawarkan dirinya di pasar. Faktanya tidak seperti itu.
Di sini, perempuan Mauritania yang telah bercerai membuang beban yang mengingatkan kehidupan yang telah berlalu, dengan cara menjual semua perabotan dan harta terkait pernikahannya yang gagal.
Awal berdirinya Pasar Al-Rahmah, demikian ia disebut, sejak pertengahan tahun 1980-an. Pasar ini menyediakan kasur, perkakas, dan pakaian bekas bagi masyarakat berpenghasilan menengah dengan harga murah.
Pedagang di pasar ini, Alalia Binti Kulaib, mengatakan dalam tradisi, para perempuan Mauritania yang diceraikan suaminya akan kembali ke rumah keluarganya.
Saat itulah mereka menjual semua perabotan –yang menurut adat istiadat– akan tetap menjadi miliknya setelah perpisahan.
“Terkadang kami saling membantu untuk melupakan masa lalu dan menjadi pedagang di pasar, itulah namanya Pasar Al-Rahmah,” ujar Alalia.
Meski namanya pasar para janda, tidak semua pedagang telah bercerai. Sebaliknya tempat ini memberikan peluang ratusan warga tidak mampu mendapatkan perabotan lebih murah.
“Jika bukan karena pasar ini, saya tidak akan memiliki kasur di ruang tamu atau memimpikan sebuah kamar tidur,” kata Muhammad Al-Amin, seorang guru pendidikan menengah, pada Sky News Arabia.
Perayaan Perceraian
Mauritania adalah rumah bagi fenomena budaya unik yang sangat kontras dengan norma-norma global.
Di negara Afrika barat laut ini, perceraian tidak hanya merupakan hal biasa, bahkan dirayakan dengan pesta.
Acara ditandai dengan pesta dan makan malam dengan latar belakang rebana dan teriakan dengan vokal bernada tinggi, mewakili kegembiraan.
Semua ini, untuk menyambut hangat perempuan yang kembali ke rumah keluarganya. Di matanya, dia telah kembali ke benteng martabat dan ketenangannya.
Dengan pulang ke rumah orang tuanya, kehidupan baru dimulai untuknya. Ia telah bebas dari stigma, rasa malu atau hantu dari hubungannya yang gagal.
Matang dan pengalaman
Uniknya, sebagian besar kaum laki-laki Mauritania percaya perempuan yang bercerai semakin lebih dewasa, lebih berpengalaman, dan lebih paham menghadapi kesulitan hidup.
Sementara wanita yang belum menikah dianggap lebih narsis dan melebih-lebihkan harga dirinya.
Jika para lelaki lebih suka dengan janda, perempuan Mauritania lebih menyukai jejaka. Mereka percaya kegagalan pernikahan pria mencerminkan ketidakmampuan memikul tanggung jawab atau boleh jadi sering melakukan kekerasan (KDRT) terhadap pasangannya.
“Saya telah menikah 9 kali. Saya memiliki anak dari banyak pasangan dan tidak berniat menikah lagi. Saya bangga bahkan dengan kehidupan yang saya jalani. Ini menunjukkan betapa cantik dan menariknya saya,” ujar Binti Ahmed Salem, perempuan berusia 50-an.
***
Mauritania menduduki peringkat pertama di dunia Arab dalam hal tingkat perceraian. Banyak faktor yang melatarbelakanginya.
“Tingkat perceraian melebihi 31 persen kasus pernikahan, dan perpisahan terjadi pada 60 persen kasus dalam 5 tahun pertama pernikahan,” jelas Hussein Badidi, profesor sosiologi di Universitas Modern Nouakchott.
Statistik menunjukkan bahwa sebagian besar anak jalanan dan anak nakal di Mauritania adalah korban perceraian.
Hal ini juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara peningkatan angka perceraian di masyarakat dengan peningkatan angka keterbelakangan akademis, penyakit psikologis tertentu yang menimpa anak-anak yang keluarganya berantakan. []