Sejak tahun 2006, Djado masuk dalam daftar tentatif Situs Warisan Dunia UNESCO, tapi jejaknya tetap menjadi misteri
Gurun di wilayah Sahel di timur laut Niger menawarkan pengalaman yang menakjubkan bagi para pelancong. Desa-desa berbenteng garam dan tanah liat, bertengger di bebatuan dengan pasir Sahara terkepung di bawahnya.
Selama beberapa generasi, pengunjung telah mengagumi “ksars” Djado, merenungkan tembok benteng, menara pengawas, lorong tersembunyi, dan sumur, yang semuanya jadi saksi keahlian tangan-tangan terampil tidak dikenal.
Siapa yang memilih untuk membangun pos terdepan ini di wilayah tandus dan terpencil – dan mengapa mereka membangunnya – adalah pertanyaan yang belum pernah terjawab dan menjadi teka-teki.
Tidak ada penggalian arkeologi atau penanggalan ilmiah yang pernah dilakukan untuk menjelaskan misteri ini.
Djado terletak di wilayah oasis Kawar, sekitar 1.300 kilometer (800 mil) dari ibu kota Niamey, dekat perbatasan Niger dengan Libya, lintas batas yang cukup berbahaya.
Dulunya merupakan persimpangan jalan bagi karavan yang berdagang melintasi Sahara, Kawar kini menjadi pusat perdagangan narkoba dan senjata. Reputasinya yang suram menghalangi semua orang kecuali wisatawan yang gigih.
“Tidak ada wisatawan asing sejak tahun 2002,” kata Sidi Aba Laouel, Wali Kota Chirfa, komune tempat situs Djado berada. “Jika pariwisata bagus, ada potensi ekonomi bagi masyarakat,” tambah dia.
Berkah terjadi pada tahun 2014 ketika emas ditemukan. Banyak para penambang dari Afrika Barat datang, membawa ekonomi baru, termasuk bandit-bandit yang bersembunyi di pegunungan.
Mengacu karya Albert le Rouvreur, perwira militer Prancis era kolonial yang ditempatkan di Chirfa, asal-usul situs tersebut berasal dari Suku Sao, merupakan penduduk pertama yang diketahui di Kawar.
Namun garis waktu penyelesaian mereka tidak jelas. Beberapa ksar yang masih berdiri beratap pohon palem, kemungkinan besar dibangun di kemudian hari.
Ksar adalah sejenis desa berbenteng di Afrika Utara, biasanya ditemukan di wilayah yang sebagian besar atau secara tradisional dihuni oleh Berber (orang Amazigh).
Antara abad ke-13 dan ke-15, Suku Kanuri menetap di wilayah tersebut. Peradaban oasis mereka hampir hancur pada abad ke-18 dan ke-19 oleh gelombang perampok nomaden – Suku Tuareg, Arab, dan terakhir, Toubou.
Kedatangan orang Eropa pertama di awal abad ke-20 menandai awal dari berakhirnya kekuasaan ksars sebagai pertahanan melawan penjajah. Militer Prancis merebut wilayah tersebut pada tahun 1923.
Saat ini, Suku Kanuri dan Toubou telah banyak berbaur, namun para pemimpin tradisional di wilayah tersebut, yang disebut “Mai”, adalah keturunan dari garis keturunan Kanuri.
Peninggalan yang Terancam
Sekitar 300 kilometer ke arah selatan Djado terdapat oasis Fachi, yang terkenal dengan benteng dan kota tua, dengan tembok yang masih hampir utuh. Beberapa situs simbolis kota kuno masih digunakan untuk upacara adat.
Otoritas tradisional Fachi, Kiari Sidi Tchagam, mengatakan benteng tersebut “berusia setidaknya 200 tahun”. “Menurut informasi kami, ada orang Arab yang datang dari (Türkiye); dialah yang memberikan ide kepada masyarakat untuk membuat benteng di sana,” katanya, menggemakan teori pengaruh Turki.
Meskipun reruntuhan tersebut sebuah kebanggaan, para keturunannya khawatir bangunan garam yang rapuh tersebut terancam oleh hujan jika tidak dijaga dengan baik.
Meski sejak tahun 2006, Djado telah masuk dalam daftar tentatif Situs Warisan Dunia UNESCO, tapi asal usulnya tetaplah menjadi misteri.*