Pendekatan sosial dan terus menjalin kekeluargaan dengan warga berimbas kepercayaan masyarakat dalam dakwah
Tidak ada dakwah yang mudah, namun jika dijalankan dengan tulus, pertolongan Allah selalu terbuka. Itulah yang dirasakan Ustadz Supriatna ketika pertama kali berdakwah di Kampung Cisema, Desa Mangunjaya, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada awal tahun 2015 silam.
Hanya kendaraan roda dua yang bisa melintasi Kampung Cisema, karena menuju ke sana harus melewati jalan bebatuan dan berbukit, serta jalan pematang sawah yang licin dan berlumpur.
Kehadirannya di tempat ini bermuka saat dirinya dan beberapa rekan ditugaskan Pos Dai menjadi juru dakwah di tempat terpencil dan sulit dijangkau oleh masyarakat luas.
Ia datang berbekal tekad untuk membina masyarakat dalam keislaman. Tak tak punya kenalan, apalagi tempat tinggal.
“Hanya ada niat yang ikhlas untuk memulai dakwah,” ujarnya.
Kala itu mendatangi ketua kampong menyampaikan niat kedatangannya, ingin mengajar al-Qur’an tanpa dibayar. Niat baiknya disambut positif.
Masjid yang ada di kampung ini dipersilakan untuk dipakai mengisi pengajian dan mengajar anak-anak mereka.
Lalu, mulailah ia membuka majelis. Betapa kagetnya, rupanya banyak anak kampung masih buta huruf al-Qur’an dan jamaah shalat lima waktu pun masih sangat sedikit.
Meski rutin berdakwah di Kampung Cisema, Supriatna menetap di Desa Rancamanyar, Kecamatan Baleendah. Ini karena di Cisema ia belum memiliki rumah atau lahan yang bisa ditempati.
Selama dua tahun, ia dan istrinya bolak-balik ke kampung dengan jarak waktu sekitar 45 menit perjalanan via motoruntuk membina keislaman warga.
Qadarallah, banyak perubahan dari pembinaan dakwah. Semakin banyak ibu-ibu bisa membaca Al-Quran.
“Mereka tak mau kalah semangat sama anak-anak mereka,” ujar pria yang juga Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Hidayatullah Kabupaten Bandung tersebut.
Membuka Yayasan
Seiring makin besarnya animo masyarakat belajar agama, Supriatna dan kawan-kawannya membuka yayasan untuk menaungi kegiatan-kegiatan belajar diniyah.
Melalui Yayasan Al-Amin Hidayatullah, di lahan itu didirikan beberapa saung gazebo tempat anak-anak dan para ibu belajar diniyah; membaca al-Qur’an, bahasa Arab, tafsir, Hadits, fiqih, hingga sejarah Islam,” ungkapnya.
Tantangan
Salah satu tantangan yang harus mereka hadapi adalah pendekatan dakwah dia kalangan bapak-bapak. Hal ini berbeda dengan pengajian ibu-ibu dan diniyah anak-anak yang cukup marak.
Agar kaum pria bisa menambah ilmu, dibuatlah pengajian rutin khusus untuk bapak-bapak. Tapi peminatnya sangat rendah.
Laku ia mencoba menggelar pengajian umum setiap bulannya dan mendatangkan ustadz-ustadz mumpuni di luar tema kajian.
Rupanya metode ini berhasil. Setiap pengajian, masjid selalu ramai hingga luar masjid.
Seiring berjalannya waktu, perubahan di masyarakat semakin terlihat. Masyarat makin lancar baca al-Quran, para wanita dan anak-anak gadis banyak menutup aurat, shaf shalat lima waktu semakin ramai, hingga pengajian di masjid selalu penuh.
Saat ini yayasan yang dikelolanya mampu membeli rumah warga dan telah direnovasi menjadi Rumah Quran. Kelak, rumah itu akan menjadi cikal bakal pesantren tahfidz.
Tahun ini mereka segera membuka santri mukim khusus putri yang akan dibina menjadi penghafal al-Qur’an. Pekerjaan rumah Supriatna dan kawan-kawan masih banyak, ia berharap bisa mendapatkan lahan di kampung dan mendirikan fasilitas belajar lebih baik, mengelola pesantren, dan membina masyarakat lebih dekat.?*/Siraj el-Manadhy