Memberi nasihat tidak bertujuan mempermalukannya, tetapi untuk menyampaikan kebenaran dan kebaikan padanya
Salah dan khilaf merupakan salah satu tabiat dasar manusia, dan tidak ada orang yang terlepas dari kesalahan dan kekhilafan, baik disengaja apalagi tanpa disengaja.
Dalam memberi nasehat dan teguran Islam menganjurkan menggunakan cara yang bijak dan santun.
Dalam sebuah hadits dikisahkan bahwa Mu’awiyah bin Hakam as Sulami r.a. mengunjungi kota Madinah karena hendak memeluk agama Islam.
‘’Suatu ketika kami sedang menunaikan shalat tiba-tiba seseorang bersin, maka spontan saya mengucapkan Yarhamukallah. Tiba-tiba semua orang melirik dengan marah ke arahku. Lalu aku berkata: “Mengapa kalian memandang kepadaku?”. Mereka pun memukulkan tangan di paha-pahanya. Aku melihat mereka menyuruhku diam, (tetapi aku tidak memahami isyarat mereka) walaupun kemudian aku terdiam. Setelah Rasulullah ﷺ selesai menunaikan shalat, maka Demi Ayah dan ibuku, aku belum pernah menjumpai seorang guru sebelum ini dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya dibanding Rasulullah ﷺ. Maka Demi Allah Beliau tidak berlaku kasar kepadaku, tidak memukul, dan tidak menghardik aku. Beliau hanya bersabda, “Sesungguhnya di dalam shalat ini tidak boleh ada ucapan manusia. Shalat itu hanyalah untuk memuji kebesaran Allah, mengagungkan-Nya dan membaca Al-Qur’an”. (Shahih Muslim, Kitab al Masajid, Bab Tahrim al Kalam fi as Shalah, no. 573, 1/381).
Kisah di atas, memberikan pelajaran bahwa menegur dan memberi nasihat kepada seseorang hendaknya tidak dilakukan di depan umum.
Para ulama salaf mengatakan; “Barangsiapa mengingatkan saudaranya, lalu ia melakukannya hanya antara dia dengan saudaranya itu, maka itulah nasihat. Adapun yang menasihatinya di hadapan orang lain, berarti telah mempermalukannya.”
Imam syafi’i berkata; “Barangsiapa menasehati saudaranya dengan sembunyi-sembunyi, berarti ia telah menasehati dan mengindahkannya. Barangsiapa menasehati dengan terang-terangan, berarti ia telah mempermalukan dan memburukkannya.”
Islam menuntun umatnya agar senantiasa menjaga kehormatan setiap orang dengan tidak mengungkap aibnya di depan umum. Teguran dan nasehat pada seseorang di depan umum berarti mempermalukannya.
Karenanya memberi nasehat yang bersifat pribadi hendaknya rahasia atau empat mata.
Murabbi (pendidik) sebagai pemberi nasehat hendaknya memperhatikan etika yang diajarkan Rasulullah ﷺ dan diikuti oleh para ulama. Seorang pendidik hendaknya menghindari memberi teguran atau nasehat kepada mutarabbi-nya di depan umum, baik di halaqah apalagi di forum yang lebih besar.
Khatib al Baghdadi dalam kitabnya al Jami li Akhlaq ar-Rawi menceritakan bahwa suatu ketika Imam Ahmad bin Hanbal mendatangi seorang muridnya yaitu Harun Ibnu Abdillah.
Ketika malam sudah mulai larut, sang guru berjalan berjingkat seolah tidak ingin ada yang mengetahui kehadirannya. Imam Ahmad pun menjaga suaranya agar tetap pelan hingga sampai di rumah Harun.
“Siang tadi aku lewat di samping majelismu saat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Aku menyaksikan murid-muridmu terkena terik sinar matahari ketika mencatat hadits-hadits, sedangkan engkau bernaung di bawah bayangan pepohonan. Lain kali, janganlah melakukan seperti itu wahai Harun. Duduklah dalam keadaan yang sama sebagaimana murid-muridmu duduk,” demikian kata Imam Ahmad berbisik sambil memohon pamit, berjingkat dan berhati-hati menutup pintu.
Demikianlah mulia akhlak para ulama-ulama kita dalam menyampaikan nasihat. Wallahu Ta’ala A’lam.*