Ibarat obat atau jamu, kritik atau cacian pihak lain akan ‘membugarkan’ seseorang di masa mendatang
Oleh: Khairul Hibri
Kalimatnya pendek. Hanya terdiri dari dua kata; Terima dan kasih. Sebuah kalimat yang sangat ringan diucap, tapi luas makna dan luar biasa dampaknya.
Alkisah ada seorang karyawan mendapatkan misi menyelesaikan sebuah proyek. Di penghujung waktu yang tetapkan, proyek itu jauh dari keberhasilan.
Padahal, sebelumnya ia menyatakan kesanggupan untuk menyelesaikan dengan baik dan tepat waktu. Sayangnya, setelah dikoreksi atas kegagalannya, alih-alih mengakui kekeliruan, ia malah sibuk mencari pembenaran.
Bagiamanapun langkah ini akan menggerus reputasi dirinya dan perusahaannya. Dampak situasi ini menyebabkan kepercayaan kepadanya memudar dan kehilangan langganan, klien atau custumer.
Bayangkan kalau ia melakukan hal sebaliknya. Misalnya ia menerima dengan penuh tanggungjawab kritikan atau koreksi. Bahkan, dengan tulus hati berterima kasih atas segala penilaian yang diberikan betapapun pahit dirasakan.
Hal ini akan berdampak pada dua hal penting. Pertama, berlapang dada menerima masukan/kritik, yang akhirnya mendorong mengucapkan terima kasih akan berdampak positif bagi dirinya dan custumer di masa mendatang.
Yang kedua, sebaliknya jika seseorang sulit mengucapkan terima kasih, apalagi memiliki ego yang tinggi, ia akan kehilangan pelanggan bahkan teman.
Apalagi jika kelompok terakhir ini adalah seseorang yang memiliki bawahan, maka, dipastikan dia cenderung menjadi memimpin yang otoriter.
Padahal, kebenaran, kebijaksanaan atau bahkan kesalahan adalah hal universal, ia bisa datang dari mana saja. Pemimpin pun bisa berbuat yang sama, selagi masih berstatus manusia.
Di saat atasan berkenan menerima masukan-masukan, bahkan berterima kasih atas sumbangsih ide cemerlang bawahan, hal ini akan semakin menguatkan tali kasih sayang.
Bawahan merasa dihargai dan rasa nyaman dalam bekerja akan terwujud. Selain itu, keberanian memunculkan inovasi akan terus tumbuh, sehingga perusahan/instansi akan terus berkembang dan maju.
Bercermin dari Rasulullah
Cobalah perhatikan, kurang apa Bagina Rasulullah ﷺ? Sebagai manusia, beliau tidak luput dari kekeliruan dalam menentukan kebijakan-kebijakan.
Karena itu, tidak sedikit beliau mendapat teguran dari para Sahabat, bahkan langsung dari Allah Swt.
Dalam merancang strategi di Perang Badar dan Perang Khandaq, misalnya, Baginda Nabi ﷺ banyak masukan para sahabat, yang mengoreksi strategi Rasulullah.
Setelah mendengarkan argumentasi yang disampaikan, dan menilai lebih baik, Rasulullah ﷺ akhirnya memilih usul dari para sahabat-nya.
Langkah semisal inipun pernah dilakukan dua sahabat yang mengemban amanah sebagai khalifah. Bahkan Umar bin Khattab sampai berucap hamdalah, ketika seseorang dengan gagah berani mengacungkan pedangnya di hadapan beliau, seraya siap meluruskan Umar dengan pedang, bilamana mendapati kepemimpinan Umar keluar dari koredor Islam.
Jadi, mari kita latih diri untuk terbiasa ‘berterima kasih’ atas apa yang kita terima dari pihak lain, baik itu berupa pujian ataupun cacian/kritik, karena sejatinya, hal itu -insya Allah- akan menjadi ‘obat’ yang akan ‘membugarkan’ keadaan di masa mendatang.*