Oleh: Sarah Zakiyah
إِني قّدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا
“Sungguh aku telah dikaruniai cinta padanya”
Cinta sesungguhnya hanya dapat dimaknai dengan tepat oleh orang yang mengalaminya. Walau ribuan kata diungkapkan untuk memaknainya, sungguh tidak akan dapat mendeskripsikan cinta sebagaimana mestinya.
Itulah sebabnya, sebagian filosof menyimpulkan bahwa orang yang mengalami rasa cinta dikatakan jatuh cinta dan orang yang mengalami kegagalan dalam cinta disebut patah hati.
Karena orang yang menemukan cintanya tidak akan mampu lepas darinya dan pasti jatuh padanya, sedangkan orang yang mengalami kegagalan cinta akan merasakan pahitnya seakan-akan hati/ perasaannya telah hancur/ patah.
Orang-orang yang jatuh cinta terkadang sulit mengungkapkan sebab dari hadirnya cinta yang ia rasakan, begitu pula yang dialami oleh Baginda Rasulullah Saw, saat cinta beliau pada mendiang istrinya tetap bersemayam di hati beliau dengan begitu indah.
Suatu hari, Ibunda Aisyah Ra mengungkapkan kecemburuannya kepada mendiang Ibunda Khadijah, yang selalu diingat dan disebut namanya oleh Baginda.
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, bahwa Ibunda Aisyah Ra berkata, “aku tidak pernah cemburu sebagaimana cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah bertemu dengannya. Setiap kali Rasulullah menyembelih kambing, maka beliau bersabda, “kirimkan sebagiannya kepada teman-teman Khadijah.” Dia (Aisyah) berkata, “maka suatu hari aku pun marah, dan berkata, Khadijah (lagi dan lagi).” Lalu Rasulullah bersabda, “sungguh aku telah dikarunia cinta padanya.”
Rasulullah, Muhammad Saw menempatkan cinta pada orang yang halal bagi beliau. Cinta beliau kepada Khadijah Ra beliau ungkapkan dalam pernyataan dan perbuatan.
Ungkapan tersebut memutus segala argumen yang disampaikan oleh ibunda Aisyah Ra. Di sebagian riwayat, Aisyah mengungkapkan kecemburuannya saat beliau memuji-muji Khadijah di hadapan Aisyah, serta membaguskan pujian beliau kepadanya.
Aisyah Ra berkata: “Seringkali Engkau menyebut-nyebut perempuan ompong itu, padahal Allah telah menggantikan untukmu yang lebih baik darinya.” Rasulullah Saw menjawab, “Allah tidak pernah menggantikan untukku dengan yang lebih baik darinya, dia beriman kepadaku saat semua orang kafir kepadaku, dia telah mempercayaiku saat semua orang mendustakanku, dia membantuku dengan hartanya tatkala semua orang menahan hartanya untukku, dan Allah telah mengaruniakan anak-anak darinya tatkala Allah tidak mengaruniakan untukku anak dari wanita lainnya.”
Renungkanlah, sungguh makna cinta bagi beliau untuk Khadijah adalah karena keutamaan dan kebaikan yang hanya beliau dapatkan darinya, tidak didapatkan ataupun dimiliki oleh istri beliau lainnya.
Keistimewaan Khadijah di mata beliau tidak ada yang menandinginya, dan itulah yang menyebabkan cinta beliau padanya tidak hilang bersama berlalunya waktu.
Alasan abadinya cinta mungkin bisa kita maknai dari apa yang pernah diungkapkan alm. B.J Habibie kepada mendiang istrinya, Ibu Hasri Ainun.
B.J Habibie pernah mengatakan bahwa bagaimana dia bisa melupakan Ibu Ainun.
Pengorbanan yang diberikan ibu Ainun adalah sebuah keistimewaan bagi B.J Habibie, sehingga beliau tidak dapat melepaskan cinta kepadanya.
Maka, wahai para istri, milikilah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh wanita lainnya, sehingga suami selalu bangga dengan istrinya. Keistimewaan yang menjadi sebab abadinya cinta. Walillahi al-hamd.*