Assalamualaikum warahmatullah. Ustadz mohon penjelasan mengenai khitan bagi wanita, mengingat lagi populer diperbincangkan imbas peraturan pemerintah yang menghapuskan praktek ini untuk perempuan.
Abdallah | Surabaya
Jawab:
Memang benar, baru saja ramai diperbincangkan pasca pemerintah mengeluarkan PP no 28 tahun 2024 tentang peraturan pelaksanaan UU no:17 tahun 2023 turunan UU Kesehatan.
Dalam pandangan syariat, ulama berbeda pendapat terkait dengan hukum khitan (atau sering disebut sunat) baik bagi laki-laki maupun perempuan. Menurut Madzhab Hanafi dan Mazhab Maliki serta satu riwayat pendapat imam Ahmad adalah hukum khitan adalah sunnah, bukan wajib, baik bagi laki-laki dan perempuan.
Alasannya, tidak ada satupun hadis shahih yang definitif menegaskan kewajiban berkhitan. Yang ada adalah hadis shahih definitif riwayat Muslim yang menyetarakan status khitan sejajar dengan empat hal yang semuanya berhukum sunnah.
Empat hal tersebut adalah memotong bulu kemaluan, memotong kuku, memotong kumis dan mencabut bulu ketiak. Nabi bersabda:
خَمْسٌ مِنَ الفِطْرَةِ: الخِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Lima hal yang termasuk perilaku fitrah adalah khitan, memotong bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan memotong kumis.”(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sedangkan menurut Madzhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali, hukum khitan untuk laki-laki maupun perempuan wajib. Dasarnya perintah Allah untuk mengikuti jejak Nabi Ibrahim, sebagaimana firmannya:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا
“Kemudian kami wahyukan kepadamu agar engkau mengikuti agama Ibrahim yang lurus.” (QS. an-Nahl:123)
Sedangkan di antara jejak beliau adalah berkhitan. Nabi bersabda:
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً بِالْقَدُومِ
“Nabi Ibrahim ﷺ berkhitan pada umur delapan puluh tahun dengan menggunakan kapak.” (HR. al-Bukhari)
Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah perintah ini bersifat umum tanpa membedakan laki-laki maupun perempuan.
Walaupun semua sepakat, teknis pelaksanaan khitan laki berbeda dengan perempuan.
Dengan demikian jelas bahwa khitan bagi perempuan adalah bagian dari tuntunan syariat Islam, walaupun tidak mutlak berhukum wajib sebagaimana pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah.
Hukum minimal atau terendah dalam pendapat ulama setidaknya adalah sunnah sebagaimana pendapat Imam Hanafi dan Imam Malik.
Tampaknya, walaupun mayoritas masyarakat muslim Indonesia bermazhab Syafi’i, namun mayoritas tidak menyunatkan putrinya baik yang awam maupun ulamanya.
Barangkali para ulama Indonesia dalam hal ini memilih mengikuti pendapat yang menyunnahkan saja. Dengan demikian jika ada orang tua dari perempuan muslimah tidak mengkhitankan putrinya itu tidak otomatis layak mendapat cela.
Meski praktek mengkhitan perempuan minim dilakukan, namun legalitas syar’i tidak dapat dihapus/dilarang sembarangan. Jikapun terjadi praktik yang tidak tepat dalam hal ini, pemerintah yang menjamin pelaksanaan UUD, semestinya memberikan edukasi/sarana agar praktiknya tidak keliru.
Tidak tepat jika ada dua atau tiga kasus kesalahan praktik khitan lalu diberlakukan pelarangan. Pelarangan dapat dilakukan oleh pemerintah jika memang sebagai jalan terakhir untuk mengatasi -jika praktik yang salah meluas- dan banyak dampak negatif bagi perempuan akibat khitan. Itu Pun harus bersifat terbatas waktu, tidak selamanya.
Jangan pula karena ada 1, 2 dan 3 praktik khitan yang salah jadi pintu masuk untuk melarang bahkan membenci syariah. Wallahu a’lam.*