Oleh: Sarah Zakiyah
Hendaklah muslimah berprasangka baik pada saudara muslimah lain, apalagi jika ada kabar hoaks ditimpakan pada muslimah yang taat
Sepulang dari mendampingi Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan perang, Aisyah jatuh sakit. Hampir satu bulan beliau berada di rumah tanpa mengetahui desas-desus tentangnya yang dihembuskan orang-orang munafik.
“Aisyah telah melakukan fahisyah (dosa besar) dengan seorang sahabat yang bernama Shafwan bin Mu’athal,” demikian gosip yang dihembuskan.
Kabar miring tentang istri Rasulullah ini seketika menyebar seantero Madinah, hingga Rasulullah ﷺ hampir termakan berita hoax tersebut.
Alkisah, Aisyah ikut mendampingi Rasulullah dalam perang Perang Bani Mustaliq. Saat itu beliau tetap berada dalam sebuah haudaj (sekedup).
Namun, saat berada di tempat peristirahatan dalam perjalanan pulang, Bunda Aisyah tidak menemukan kalungnya. Beliau keluar dari haudaj (tempat duduk di punggung unta, red) untuk mencari perhiasan tersebut.
Sekembalinya dari pencarian, Aisyah mendapatkan Rasulullah dan para pasukan telah meninggalkan tempat tersebut. Orang-orang yang membawa haudaj-nya menyangka Aisyah masih berada di dalamnya.
Aisyah pun menyandarkan tubuhnya di sebuah pohon hingga terlihat sahabat yang bertugas menyisir pasukan yang bernama Shafwan bin Mua’athal.
Saat menyadari bahwa wanita itu Aisyah istri Nabi, dia pun beristirja’ (mengucapkan innalillah) dan langsung menderumkan untanya untuk dinaiki oleh Asiyah, lalu menuntut unta tersebut hingga mereka bertemu dengan rombongan Rasulullah dan pasukannya.
Dari sinilah kabar bohong tentang Aisyah dan Shafwan dimulai.
Sakit yang diderita Aisyah sepulang mendampingi Rasulullah berperang, membuatnya tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Hingga merasa sikap Rasulullah padanya tidak seperti biasanya.
Nabi hanya menanyakan kabarnya saja setiap masuk ke rumah, tidak lebih dari itu. Ketika Aisyah mengetahui apa yang menimpa dirinya dari seorang shahabiyah yang juga masih memiliki kekerabatan dengannya, Aisyah izin kepada Rasulullah untuk dirawat di rumah Ummu Ruman, ibunya.
Di rumah kedua orang tuanya itulah Aisyah menangis hingga tertidur karena sedih. Aisyah tidak menyangka berita bohong tentangnya telah menyebar ke seluruh Madinah, dan yang lebih membuatnya sedih adalah sikap Rasulullah yang hanya dapat mengatakan kepadanya, “Wahai Aisyah jika engkau tidak melakukan seperti yang mereka katakan, Allah akan membebaskanmu, namun jika engkau melakukannya, maka beristighfar dan bertaubatlah.”
Sebulan berlalu, dan cerita bohong tersebut telah mengubah keharmonisan keluarga Baginda Nabi dan juga kehidupan sosial penduduk Madinah.
Akhirnya, Allah Swt menurunkan 10 ayat yang membebaskan Aisyah dari tuduhan tanpa bukti tersebut. Ayat-ayat pembebasan bagi Aisyah yang Allah turunkan dalam QS. An-Nur ayat 11-20 sangat membahagiakan Rasulullah ﷺ.
Kisah ‘berita bohong’ dan ayat-ayat tersebut memberikan pelajaran bagi muslimah bahwa tidak sepatutnya seorang muslim mempercayai kabar tentang keburukan saudara muslim lainnya tanpa bukti.
Pelajaran utama dari kisah ini, hendaklah muslimah selalu berprasangka baik kepada saudara muslimah lainnya. Apa lagi kabar tersebut ditimpakan kepada muslimah taat, yang menjaga agama dan kehormatan dirinya.
Sebagaimana perkataan Zainab binti Jahsy saat ditanya tentang pendapatnya ketika mendengar berita bohong tentang Asiyah; “Wahai Rasulullah, aku menjaga pendengaran dan penglihatanku, demi Allah, aku tidak mengetahui tentangnya kecuali kebaikan.”*