Kerusuhan dipicu retorika rasis dan Islamofobia pemerintah dan media massa menarget Muslim yang telah terjadi cukup lama
Para pengunjuk rasa melemparkan benda-benda ke jendela hotel dan melambaikan bendera Inggris. Hotel Holiday Inn Express di Tamworth. Hotel yang berlokasi di Inggris utara hangus dilalap si jago merah akibat ulah perusuh yang berdalih mencari pencari suaka.
“Keluarkan mereka”, kata para hooligan anti-imigran. “Anda tidak diterima lagi” teriak mereka saling menyemangati menyerang hotel bulan Agustus lalu.
Kekacauan secara cepat menyebar cepat. Kerusuhan ini dipicu oleh xenofobia dan informasi palsu (hoaks) seputar aksi penikaman tragis terhadap tiga orang gadis berusia 7, 6, dan 9 tahun di Southport tanggal 29 Juli.
Informasi palsu yang beredar di media sosial mengklaim pelaku seorang imigran Muslim. Aktivis sayap kanan menyebarkan isu identitas pelaku berbahasa Arab
Rumor itu menyulut emosi masyarakat dan memicu kerusuhan di Southport hingga ke penjuru Inggris. Kerusuhan pecah di Southport usai massa mengepung sebuah masjid.
Perusuh melempari polisi dengan batu bata dan botol, menjarah sebuah toko, serta membakar tempat sampah dan kendaraan. Sebanyak 400 orang telah ditangkap.
Faktanya, informasi palsu menunjukkan bukti bahwa pelaku penikaman berusia 17 tahun, bernama Axel Rudakubana lahir dari orang tua Kristen Rwanda.
Kecemasan Muslim
Kerusuhan di Southport menyebabkan meningkatnya ketakutan dan kecemasan dalam komunitas Muslim. Bagaimanapun kaum Muslim adalah kelompok paling dirugikan.
Banyak laporan menunjukkan serangan terhadap individu umat Islam, bisnis mereka, pusat-pusat Islam, termasuk vandalisme masjid.
Survei yang dilakukan inisiatif internasional More in Common, 53 persen responden memiliki pandangan sama bahwa “Inggris bukan tempat aman bagi umat Islam” dibandingkan 38 persen sebelum terjadinya kekerasan kerusuhan.
Dalam wawancara dengan Anadolu Agency, Muhammad Mussa, juru bicara organisasi advokasi independen CAGE International berbasis di London, mengatakan penyebab kekerasan ekstrimis sayap kanan adalah kombinasi dari banyak faktor.
“Kerusuhan tersebut merupakan kombinasi dari Islamofobia dan sentimen anti-imigran selama lebih dari 30 tahun di negara ini. Apa yang kami lihat adalah pemerintah, kelompok mapan, dan sekutunya di media terus-menerus menggunakan imigrasi, pencarian suaka, dan Islamofobia sebagai sarana untuk menimbulkan ketakutan terhadap etnis minoritas di Inggris,” katanya.
Mussa mencatat bahwa mereka yang terlibat dalam kerusuhan ini tidak berpendidikan dan tidak berpengetahuan luas dalam budaya, politik, dan sejarah, serta mengikuti media dan politisi sayap kanan ekstrem.
Mussa menunjukkan bahwa kekerasan ekstrimis sayap kanan terhadap umat Islam telah menimbulkan ketakutan dan kecemasan dalam komunitas Muslim.
“Ada banyak ketakutan di masyarakat di seluruh negeri setelah apa yang terjadi. Kami telah melihat laporan mengenai laki-laki dan perempuan Muslim diserang secara fisik dan kejam. Ada masjid, tempat usaha, dan rumah yang dibobol. Jadi wajar saja akan ada ketakutan, ketidakpastian, dan kecemasan,” kata Mussa menuntut diakhirinya gerakan anti-Islam.
“Jadi tindakan solidaritas ini juga memberikan jaminan kepada masyarakat, namun masih banyak yang harus dilakukan oleh pemerintah dan polisi untuk melindungi komunitas kita. Dan kemudian, retorika rasis dan Islamofobia yang dilakukan oleh pemerintah dan media itu sendiri harus diakhiri,” tambahnya.[]