Ormas Islam seperti Serikat Islam, Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Ulama termasuk tokoh keturunan Arab Indonesia, berperan penting dalam membangkitkan kesadaran perlawanan nasional
Sejarah kemerdekaan Indonesia tak dapat dilepaskan dari peran besar umat Islam, yang selama berabad-abad menjadi garda depan dalam melawan penjajahan.
Dimulai dari abad ke-19, perlawanan gigih kaum Muslimin melawan kolonial Belanda tercatat dalam berbagai peperangan besar, seperti Perang Paderi, Perang Diponegoro, dan Perang Aceh, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, dan Teuku Umar.
Pada masa pendudukan Jepang, umat Islam tetap menunjukkan semangat perlawanan melalui berbagai pemberontakan, di antaranya di Indramayu, Singaparna, dan Blitar yang dipimpin oleh ulama dan pemimpin pesantren.
Organisasi-organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah turut membentuk gerakan militer seperti Hizbullah dan Sabilillah untuk mempertahankan kemerdekaan.
Dengan Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama, umat Islam mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajah, membuktikan bahwa mereka selalu berada di garda depan dalam perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan.
Jasa Umat Islam
Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari kontribusi besar umat Islam, para tokoh, dan organisasi Islam, sejak abad ke-19 hingga proklamasi 17 Agustus 1945.
Sejarah mencatat, Pondok Pesantren di Jawa dan Madura memainkan peran vital dalam membina semangat perlawanan dan pertahanan terhadap kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang.
Organisasi Islam seperti Serikat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Persis (1923), Nahdlatul Ulama (1926), dan organisasi lainnya termasuk tokoh keturunan Arab Indonesia, berperan penting dalam membangkitkan kesadaran nasional. Organisasi-organisasi ini berkontribusi dalam menanamkan semangat kemerdekaan dan membangkitkan rasa harga diri sebagai bangsa yang harus merdeka dari penjajahan.
Tercatat perlawanan umat Islam terhadap penjajahan Belanda pada abad ke-19, antara lain: Perang Paderi (1821-1824 dan 1837), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Bone (1858-1860 dan 1905-1906), Perang Banjarmasin (1859-1863), Perang Aceh (1873-1903), Perang Jambi (1878-1904) & Perang Kalimantan Selatan (1900-1905)
Perjuangan ini dipimpin oleh para pejuang seperti Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, dan Pangeran Antasari.
Di masa pendudukan Jepang, umat Islam terus berjuang melalui berbagai perlawanan, seperti; pemberontakan di Indramayu dan Singaparna yang dipimpin oleh Kiai Zainal Mustofa.
Jepang kemudian membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masjoemi) pada tahun 1943 sebagai wadah persatuan umat Islam.
Masjoemi membentuk badan militer Hizboe’llah untuk mempersiapkan pemuda Islam dalam perjuangan fisik melawan penjajah.
Situasi kritis setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Kemerdekaan ini segera dihadapi dengan ancaman dari Sekutu dan Belanda.
Dalam situasi genting ini, Nahdlatul Ulama mengeluarkan Resolusi Jihad (Oktober 1945), dan Muhammadiyah mengeluarkan Amanah Jihad (Mei 1946) menyerukan umat Islam untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Setelah proklamasi, umat Islam bergerak cepat membentuk partai politik untuk memperkuat kemerdekaan. Pada 6-8 November 1945, Muktamar Akbar di Yogyakarta memutuskan untuk mendirikan Partai Politik Islam bernama Masyumi, menjadi wadah perjuangan umat Islam dalam bidang politik dan militer
Sejarah ini adalah bukti nyata perjuangan yang dimiliki oleh umat Islam Indonesia untuk melawan penjajah hingga jadi negara merdeka.
II
Muslim Arab dalam Kemerdekaan Indonesia
Pengusaha Arab Faradj bin Said bin Awadh Martak menghibahkan rumah di Pegangsaan Timur 56 menjadi tempat pembacaan teks Proklamasi Indonesia oleh Sukarno dan Hatta
“Sebenarnya, meskipun tidak ada pengakuan secara formal kepada peran warga keturunan Arab, secara faktual tidak bisa dibantah. Boleh dikatakan sumbangsih warga keturunan Arab tak terbilang. Sangat banyak tokoh-tokoh berlatar etnis Arab yang memiliki kontribusi dalam perjuangan kemerdekaan.” (Dr. Tb. Massa Djafar dalam Pengantar buku “AR. Baswedan : Saya Muslim Saya Nasionalis” karya Lukman Hakiem, 2021)
Kontribusi pengusaha Muslim Arab dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah bab penting yang seringkali terlupakan dalam sejarah bangsa. Sosok-sosok seperti Hamid Al-Gadhri, A.R. Baswedan, A.S. Alatas, dan Salim Maskati adalah bintang cemerlang dimana keturunan Arab berpartisipasi aktif dalam perjuangan negeri ini.
Lebih dari itu bahkan sebelum era kemerdekaan, peran mereka sudah terlihat melalui organisasi seperti Sarekat Islam yang banyak dibantu oleh orang Arab atau minimal keturunan Arab.
Menurut Robert Van Niel dalam “Munculnya Elit Modern Indonesia,” tokoh-tokoh seperti Sayid Ali Al-Habsyi dan Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus merupakan pendukung utama Sarekat Islam.
Contoh lain dari tokoh keturunan Arab di Indonesia yang punya jasa besar adalah pelukis terkenal pada masa Hindia Belanda, Raden Saleh; pengarang lagu “Syukur,” Husain Muthahar, yang juga seorang komponis lagu perjuangan “Merdeka,” “Syukur,” dan “Hymne Pramuka,” serta pendiri Paskibraka.
Selain itu, pengusaha kaya Faradj bin Said bin Awadh Martak menghibahkan sebuah rumah di Pegangsaan Timur 56 yang kemudian menjadi tempat pembacaan teks Proklamasi Indonesia oleh Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Habib Bugak Asyi, seorang keturunan Arab dan pengusaha kaya kelahiran Aceh, pada tahun 1999 mewakafkan sebidang tanah di Makkah, Arab Saudi.
Dalam catatan sejarah, perjuangan mereka tidak hanya terbatas pada kontribusi individu, tetapi juga melalui organisasi-organisasi yang mereka bentuk dan dukung.
Sebagai contoh, Partai Arab Indonesia (PAI) yang berdiri pada tahun 1934 menjadi salah satu bukti konkrit kesadaran dan komitmen keturunan Arab terhadap tanah air Indonesia.
Hamid Algadri dalam bukunya menyebutkan bahwa sejak awal berdirinya, PAI telah menyatakan bahwa Indonesia adalah tanah air keturunan Arab, dan mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan penduduk asli Indonesia. Berbeda dengan Indo Arabisch Verbond (IAV) yang lebih menonjolkan ras Arab, PAI menunjukkan integrasi dan semangat nasionalisme yang tinggi.
Peran keturunan Arab dalam melawan penjajah juga terlihat dalam berbagai peristiwa sejarah. Misalnya, Syarif Hidayatullah, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, gencar melawan Portugis yang mencoba menguasai pantai utara Pulau Jawa.
Di Aceh, Habib Abdurrachman Alzahir memimpin perlawanan terhadap kolonial Belanda pada tahun 1873. Ketika Jepang datang menyerbu Indonesia, keturunan Arab juga berperan aktif dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI), yang menggabungkan berbagai partai politik dan mewakili aspirasi politik keturunan Arab di Indonesia.
Ungkapan Dr. G. S. S. J. Ratu Langie menggarisbawahi bahwa gerakan keturunan Arab diterima dengan cepat dalam gerakan nasional bukan hanya karena faktor agama Islam, tetapi juga karena kontribusi aktif mereka dalam lapangan perjuangan.
Dengan demikian, pengusaha Muslim Arab tidak hanya berperan dalam bidang ekonomi tetapi juga dalam perjuangan kemerdekaan, menjadikan mereka bagian integral dari sejarah Indonesia.
III
Tokoh Islam dalam BPUPKI dan Piagam Jakarta
Beberapa tokoh utama dari faksi Nasionalis Muslim berperan dalam BPUPKI
Tidak diragukan lagi, peran tokoh-tokoh Islam dalam perumusan dasar negara Indonesia melalui Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) hingga lahirnya Piagam Jakarta sangatlah signifikan.
Tokoh-tokoh Islam dalam BPUPKI merupakan bagian penting dari perumusan ideologi dan aspirasi politik pada masa persiapan kemerdekaan Indonesia.
Dari 68 anggota BPUPKI, sekitar 20% atau 15 orang berasal dari faksi Nasionalis Muslim yang aktif menyuarakan kepentingan politik Islam.
Beberapa tokoh utama dari faksi Nasionalis Muslim yang berperan dalam BPUPKI antara lain:KH. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, KH. Masjkur, KH. A. Wahid Hasjim, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Sukiman Wirjosandjojo, KH. A. Sanusi, juga KH. Abdul Halim
Naskah persiapan Undang-Undang Dasar 1945, yang disusun oleh Muhammad Yamin, mencatat pentingnya pidato-pidato yang mewakili kedua pandangan tersebut.
Suara kelompok Islam berhasil mempengaruhi hasil akhir dalam beberapa aspek krusial. Salah satu titik puncak dari perdebatan ini adalah pembentukan Piagam Jakarta, yang menghadirkan kompromi antara pandangan nasionalis sekuler dan Islam.
Piagam Jakarta, yang awalnya diusulkan sebagai bagian dari Mukadimah Undang-Undang Dasar, menggarisbawahi pentingnya Ke-Tuhanan dalam negara, sambil mengakui kewajiban untuk melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluknya.
Meskipun demikian, kata-kata ini menjadi bahan perdebatan panjang di antara anggota BPUPKI. Diskusi ini mencerminkan semangat kompromi kelompok Islam yang pada akhirnya menyatukan berbagai aliran di dalam BPUPKI.
Usulan-usulan dari tokoh-tokoh seperti A. Wahid Hasjim untuk mengakui Islam sebagai agama negara mencerminkan kompleksitas politik dan agama yang harus dihadapi pada saat itu.
Akhirnya, pada tanggal 22 Juni 1945, Piagam Jakarta ditandatangani oleh sembilan anggota BPUPKI, yang menandai penyelesaian dari pembahasan yang panjang dan kompleks.
Dokumen ini, meskipun tidak termasuk dalam teks final Undang-Undang Dasar 1945, tetap menjadi bukti konkret dari kompromi historis antara golongan Islam dan golongan kebangsaan dalam perumusan dasar negara Indonesia yang merdeka.
Dengan demikian, Piagam Jakarta bukan hanya sekadar hasil dari perdebatan politik, tetapi juga sebuah tonggak sejarah yang mencerminkan peran tokoh Islam dalam perumusan undang-undang negara Indonesia.
Keberadaan mereka dalam lanskap sejarah umat Islam Indonesia sangat penting untuk direnungkan utamanya untuk generasi yang akan datang.*/Mahmud BS