Assalamu’alaikum Wr Wb. Saya Dinda, ibu dua anak, dan baru menikah dengan duda tanpa anak. Selama pisah (cerai), mantan suami jarang mengirim kebutuhan untuk anak-anaknya. Memang kebutuhan kedua anak saya banyak ditutup oleh suami baru (suami sambung).
Meski beliau tidak pernah menuntut dan tidak marah, saya merasa kasihan, akhirnya tanggungannya cukup berat. Bagaimana menurut pendapat ustad?
Dinda | Tanjungpinang
Waalaikumsalam Warahmatullahi wabarakatuh. Di antara masalah yang normal muncul ketika seorang janda menikah lagi adalah adanya anak dari suaminya yang terdahulu -yang juga akan Anda jalani- yang bagi si suami disebut anak tiri.
Dan tampaknya anak Anda masih kecil atau belum mandiri sehingga masih membutuhkan nafkah orang tua.
Terkait dengan hal ini perlu diketahui pedoman umum mengenai nafkah. Secara umum ulama sepakat, bahwa sebab wajibnya memberi nafkah ada tiga, yaitu pernikahan (nikah/zawaj), kepemilikan (milk) dan kekerabatan (qarabah).
Oleh sebab berdasar pada faktor yang pertama seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya, betapapun kayanya si istri, baik gadis maupun janda. Allah berfirman:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ
“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.“ (QS: At-Thalaq:7)
Sedangkan faktor yang kedua adalah kepemilikan. Ini hanya berlaku kepada para budak yang sekarang secara resmi telah ditiadakan.
Adapun faktor ke ketiga -yaitu kekerabatan/hubungan darah, seorang ayah yang sah berkewajiban memberi nafkah anaknya yang masih belum mampu atau miskin. Allah berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka (para istri) dengan cara yang patut.” (QS: Al-Baqarah;233)
Pada ayat ini, jelas Allah mewajibkan suami memberi makanan dan pakaian yang layak kepada istri gara-gara anak. Dengan demikian, kewajiban memberi nafkah secara langsung kepada anak lebih patut dan lebih bisa dipahami.
Penguat lainnya adalah ketika Nabi mengizinkan Hindun binti ‘Utbah untuk mengambil secara sembunyi harta suaminya -Abu Sufyan- yang pelit demi menghidupi dirinya dan anaknya. Nabi ﷺ bersabda: ”Ambillah, sekadar yang cukup untuk kamu dan anakmu.” (HR: Al-Bukhari)
Dengan demikian, berdasar pada tiga faktor sebab kewajiban nafkah di atas, suami baru Anda pada dasarnya tidak berkewajiban untuk memberi nafkah kepada anak-anak Anda itu.
Nafkah anak tersebut masih menjadi tanggungan ayah kandungnya walaupun si ayah telah berpisah dari anda karena cerai. Kerelaan sang suami untuk memberi nafkah kepada anak Anda adalah bagian amal shalih atau sedekah yang tentu berpahala selama dalam kondisi ikhlas.
Pada sisi lain, tindakan tersebut secara tidak langsung dapat termasuk dalam perintah memperlakukan istri dengan baik sebagaimana firman Allah, yang artinya: ”Dan pergaulilah mereka (para istri) dengan baik.” (QS: An-Nisa:19).
Sebab, secara wajar tidak mungkin anda merasa bahagia jika sang suami hanya fokus perhatian pada Anda dan pada saat yang sama acuh terhadap anak kandung anda yang masih membutuhkan asuhan dan kasih sayang. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan barakah kepada Anda sekeluarga. Wallahu a’lam.*