Di balik renyahnya marning jagung ketan yang menggoyang lidah, tersimpan kisah perjuangan panjang para pengrajinnya.
Jagung pulut, bahan baku utama marning khas Bulukumba, menjadi komoditas langka. Hama babi yang rakus dan preferensi petani pada jagung kuning untuk industri membuat pasokan jagung pulut semakin terbatas.
Rahma, pemilik usaha Habib Anzura, merasakan betul tantangan ini.
“Harga jagung pulut memang lebih mahal,” ujarnya.
“Tapi rasanya, tidak ada yang bisa menggantikan. Untuk itu, kami harus rajin menjalin komunikasi dengan petani.”
Setiap hari, Rahma dan timnya bekerja keras mengolah 5-10 kg jagung pulut.
Prosesnya panjang, dari pemilihan bahan baku, perebusan berjam-jam, penjemuran, penggorengan, hingga pengemasan. Namun, lelah seketika terbayar ketika melihat hasil akhirnya yang renyah dan gurih.
Keuletan Rahma membuahkan hasil. Marning jagung ketan buatannya tidak hanya diminati masyarakat lokal, tetapi juga merambah hingga ke luar daerah, seperti Morowali.
“Alhamdulillah, banyak yang suka,” ujarnya dengan senyum.
Modal dari BMH & Kemenag
Kesuksesan usaha Rahma tidak lepas dari dukungan program Ekonomi Ummat Kementerian Agama.
Berkat tambahan modal, Rahma bisa mengembangkan usahanya secara mandiri.
Ia menjadi salah satu dari sepuluh anggota kelompok usaha binaan Laznas BMH dan Kantor Urusan Agama Ujung Loe-Bulukumba.
Kisah Rahma menginspirasi. Ia membuktikan bahwa dengan kegigihan dan dukungan yang tepat, usaha kecil bisa tumbuh besar dan memberikan manfaat bagi banyak orang.
Marning jagung ketan bukan hanya sekadar camilan, tetapi juga menjadi simbol semangat pantang menyerah dalam melestarikan warisan kuliner Indonesia untuk kemandirian.*/Herim