Seorang pengguna media sosial (medsos) memposting sebuah video di beranda salah satu medsosnya, berisi tentang bingkisan-bingkisan yang akan dibagikan kepada mitra kerjanya.
Video itu juga dilengkapi dengan keterangan (caption), ucapan rasa syukur atas prestasi yang diperoleh oleh sang suami dalam merintis usaha, mulai dari nol, hingga akhirnya bisa mandiri, bahkan berbagi dengan para mitra.
“Alhamdulillah, bisa sampai di titik ini. Perjuangan yang penuh dengan drama.” Tulisnya.
Berbeda dengan diksi sabar yang konotasinya akrab dengan kejadian nan menggetirkan. Syukur biasanya terucap mencerminkan kebahagiaan. Umpama, ketika mendapat nikmat, tak ubahnya pengguna medsos di atas.
Bahkan sebagian orang (khusus), termasuk Umar bin Khattab, tak semata mendapat nikmat beliau berucap syukur. Bahkan, ketika tertimpa musibah pun, khalifah kedua ini berucap demikian. Ada beberapa alasannya. Diantaranya;
“Karena musibah itu hanya menimpa duniaku. Bukan agamaku. Musibah yang menimpaku masihlah kecil, karena banyak orang yang tertimpa musibah yang lebih besar. Selanjutnya, musibah itu menjadi wasilah bagiku untuk intropeksi diri.” Ungkap beliau.
Tiga Langkah
Pertanyaannya, Sudah benarkah ekspresi syukur nikmat yang ditunjukkan oleh aktivis medsos di atas, sebagai cerminan untuk gaya syukur sebagian generasi masa kini (posting di medsos)?
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauzi, ada tiga cara seorang hamba menunjukkan rasa syukurnya kepada Allah, atas nikmat yang telah diberikan. Pertama; meyakini bahwa nikmat yang didapat merupakan karunia Allah semata.
Hal ini sangat mendasar, karena menjadi keyakinan seorang beriman; bahwa semua yang didapat merupakan anugerah Allah. Bukan lantaran kehebatan yang dimiliki. Karena sejatinya, apapun ikhtiar yang dikerahkan, manakala Allah tidak memberikan, maka gugurlah segala upaya itu.
Keyakinan ini akan membawa kepada ketawadhuan, sebab menyadari bahwa diri tak kuasa apapun terhadap sesuatu. Sebaliknya, justru meyakini, bahwa Allah lah yang Maha Memberikan sesuatu kepada setiap hamba yang dikehendaki-Nya.
Muncullah benih-benih syukur itu, persis yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman; “Sesungguhnya semua ini merupakan karunia Tuhan-Ku, untuk mengujiku, apakah aku akan bersyukur atau justru kufur (atas nikmat-Nya).” (an-Naml: 40)
Yang kedua; dengan mengucapkan kalimat syukur itu. yaitu; hamdalah. Alhamdulillah. Hal ini patut diucapkan sebagai bukti. Bahkan, tidak sekedar ucapan, kita sempurnakan dengan senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang.
Inilah hakikat syukur. Bagaimana kita semakin mendekatkan diri kepada Allah, berkat karunia yang diberikan kepada kita. Layaknya seorang bawahan kepada atasan. Manakala diberi bonus (apalagi hadiah secara cuma-cuma), pastilah akan semakin menunjukkan ketaatan dalam menjalankan tugas-tugas.
Tentu, apalagi Allah. Yang sejak dalam rahim pun telah diberi rezeki, tanpa harus merengek-rengek. Apalagi bekerja. Dan kini, setelah dewasa, Dia anugerahkan kita berbagai hal, yang menjadi hajat kehidupan kita di dunia. Kenapa kita tidak lebih meningkatkan rasa syukur itu?
Dan yang ketiga; mengoptimalkan nikmat itu untuk kebaikan. Ingat, setiap sesuatu yang Allah berikan kepada manusia, memiliki tuntutan-tuntutan. Umpama; orang yang memiliki ilmu, dituntut untuk mengamalkan ilmunya. Hartawan, dituntut untuk berbagi antar sesama. Membantu yang papa. Begitu seterusnya.
Siapapun yang mampu melakukan tiga hal ini, terkategori sebagai pribadi syukur. Dan tidak ada imbalan baginya; kecuali tambahan nikmat atas apa yang didapat. Laksana firman Allah;
“Apabila kalian bersyukur sungguh akan aku tambah nikmat-Ku kepada kalian. Tapi, jika kalian kufur, sungguh azab-Ku sangatlah pedih.” (Ibrahim: 7).