By: Khairul Hibri
Kalau diibaratkan cahaya, hidup itu punya dua dimensi. Terang dan gelap. Terang, artinya penuh dengan suka ria, lazimnya seseorang menemukan cahaya.
Sebaliknya, gelap, maknanya kesukaran, kedukaan, ujian dan musibah. Persis orang yang berkutat dalam kegelapan.
Itulah kehidupan. Bahkan, dua dimensi bertolak belakang ini, bisa terjadi dalam waktu berdekatan.
Sikap Kita…
Lantas apa sebaiknya yang kita lakukan, ketika musibah itu singgah di kehidupan kita, supaya tidak lantas membuat kita rugi di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak?
Pertama; Ucapkanlah istirja’ (innaa lillahi wa innaa ilaihi raji’uun). Bahwa, segala sesuatu adalah milik Allah.
Sejatinya kita tidak kehilangan apa-apa. Karena yang di tangan hakikatnya milik Allah. Dan kini tengah diambilnya. Lantas, apa hak kita tidak terima?
Hal inilah yang membuat Nabi Ayyub as, yang semulanya hidup penuh kesejahteraan, tiba-tiba, dalam waktu tidak lama, hidup penuh dengan penderitaan.
Jangankan anak-anak dan harta benda, dirinya pun tak lepas dari ujian itu, dengan penyakit yang sangat parah.
Kedua, kuatkan kesabaran. Indikasi akan hal itu, tidak lantas mengkambinghitamkan sesuatu di luar dirinya. Lebih-lebih Allah.
Tidak juga meronta-ronta. Tapi, diterima musibah itu, meski dengan ‘sesak dada’. Deraian air mata, tak lebih dari ‘sekedar’ ekspresi ‘kesucian cinta’.
Seperti tangisan Rasulullah SAW, ketika sang putra terkasih dipanggil Allah SWT.
Ketiga; bergegas mencari solusi. Penyelesaian masalah. Layaknya anak sekolah yang tengah menghadapi ujian.
Ingat, kita orang beriman memiliki senjata utama dalam mengurai persoalan. Yaitu doa. Melibatkan Allah. Dimensi yang satu ini jangan pernah dilupakan. Teruslah bermunajat kepada Allah. Perhatikanlah teladan yang dicontohkan oleh Nabi Ayyub as. Berkat aduannya kepada Allah lah, akhirnya, beliau bisa lulus dari ujian berat itu.
Hal lain, tentu saja tidak melupakan upaya-upaya keduniawian dalam menyelesaikan persoalan. Sebab, bagaimanapun juga, unsur ini harus dipenuhi. Kalau sakit, ya harus ke dokter. Kalau diuji dengan kemiskinan, ya harus giat belajar, dan seterusnya.
Yang keempat; jadikan bahan intropeksi diri. Galilah kekeliruan diri, ketika musibah menyapa. Sebab, Allah menjelaskan dalam al-Qur’an; bilamana kebaikan itu datang, maka sejatinya itu dari Allah. Tapi bila keburukan yang menyapa, itu hakekatnya datang dari diri kita sendiri.
Jadi, musibah itu bisa menjadi wasilah, semakin dekatnya diri kita kepada Allah. Sebab menyadari akan kealpaan, baik disengaja atau tidak, sehingga musibah itu akhirnya datang pada kita.
Semoga Allah senantiasa memberi kita pertolongan-Nya, dalam suka maupun duka, sehingga kita tetap dalam ketaatan kepada-Nya; baik itu dalam ‘pencahayaan’ yang terang benderang, atau di tengah kepekatan gelap. Wallahu ‘alam bish-shawab.